Konsep Kebiasaan dalam Hukum Perjanjian

Konsep Kebiasaan dalam Hukum Perjanjian

Kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum. Pengertian kebiasaan dalam Pasal 1339 dan 1347 KUH Perdata dianggap berbeda. Apa bedanya?
Konsep Kebiasaan dalam Hukum Perjanjian

Rumusan ini sangat sering dikutip orang-orang yang melakukan studi hukum, terutama dunia peradilan: “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Rumusan ini ada dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal ini mengharuskan hakim untuk berusaha menggali hukum dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Memang, tidak ada kata ‘kebiasaan’ sama sekali dalam Undang-Undang tersebut, tetapi kebiasaan sangat penting kedudukannya menurut hukum.

Lazim diakui bahwa kebiasaan merupakan salah satu sumber hukum, selain undang-undang, traktat, yurisprudensi, dan doktrin. Bahkan, kebiasaan dalam pengertian tradisi, disebut Prof. Sudikno Mertokusumo (1995: 97) sebagai sumber hukum yang tertua. Lewat kebiasaan, dapat dikenal atau dapat digali sebagian hukum di luar perundang-undangan, tempat ditemukan dan digali hukumnya. Menurut Sudikno, kebiasaan adalah tindakan menurut pola tingkah laku yang tetap, ajeg, lazim, normal, atau adat dalam masyarakat atau pergaulan hidup tertentu. Perilaku yang tetap dan ajeg mengandung arti perilaku manusia yang terus diulang. Perilaku yang diulang itu mempunyai kekuatan normatif, mempunyai kekuatan mengikat.

Kamus hukum pada umumnya mengartikan kebiasaan sebagai ketentuan hukum yang berlaku umum tanpa memenuhi persyaratan yang berlaku bagi perundang-undangan, yakni tidak ditetapkan oleh yang berwenang, atau ditetapkan yang berwenang tetapi tidak melalui prosedur yang ditentukan (Kamus Hukum dan Yurisprudensi oleh HM Fauzan dan Baharuddin Siagian). Adapun gewoonterecht atau hukum kebiasaan adalah hukum yang hal berlakunya berasal dari kebiasaan yang tetap (constant gebruik) dan keyakinan (overtuiging) sehingga berdasarkan kebiasaan ini orang bertindak menurut hukum (Kamus Istilah Fockema Andreae Belanda-Indonesia).

Doktrin memandang kebiasaan sebagai suatu peristiwa yang terjadi berulang-ulang dalam hubungan yang sejenis. Dengan kata lain, harus ada peristiwa yang serupa yang selalu atau terus dilakukan. Kebiasaan harus memenuhi syarat-syarat: (a) dilakukan berulang-ulang untuk jangka waktu yang cukup lama; dan (b) ada opinio necessitas (pendapat yang menyatakan demikianlah seharusnya).

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional