Dosen FH Unram: Aliran Hukum Ini Bisa Batalkan Putusan MK
Utama

Dosen FH Unram: Aliran Hukum Ini Bisa Batalkan Putusan MK

Prinsip lex iniusta non est lex dalam aliran hukum kodrat (natural law) memandang jika hukum positif berseberangan dengan moral maka tidak layak lagi dianggap hukum karena mengalami pembusukan hukum.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Widodo Dwi Putro. Foto: Tangkapan layar youtube
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram, Widodo Dwi Putro. Foto: Tangkapan layar youtube

Rencananya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) bakal membacakan putusan terhadap laporan pelanggaran etik dan perilaku hakim konstitusi, Selasa (06/11/2023). Sebagian laporan mempersoalkan dugaan pelanggaran etik hakim konstitusi dalam putusan perkara No.90/PUU-XXI/2023. Selebihnya meminta MKMK melakukan terobosan hukum, sepanjang terbukti adanya pelanggara etik. Seperti membatalkan putusan 90/PUU-XXI/2023.

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Mataram (Unram), Widodo Dwi Putro berpendapat dalam kapasitasnya sebagai akademisi atas laporan No.19/PL/MKMK/2023 dengan pelapor  Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). Menurutnya secara universal hakim harus mundur sebagai majelis bila ada kepentingan langsung atau tidak langsung dalam perkara yang ditanganinya.

Apalagi jika majelis tersebut ada hubungan keluarga dengan susbtansi yang ada dalam perkara. Lebih serius lagi, ada pandangan yang berpendapat persoalan ini sudah melampaui pelanggaran etik karena mendayagunakan hukum sebagai sarana menjustifikasi kejahatan yang sempurna. 

“Atau law as a tool of perfect crime,” katanya dalam rekaman video yang diserahkan sebagai bukti kepada MKMK pada pekan lalu dan diunggah di kanal Instagram PBHI, Senin (6/11/2023).

Baca Juga:

Banyak kalangan yang bertanya apakah pelanggaran kode etik oleh hakim dapat menyebabkan putusan MK itu dibatalkan atau tidak sah?. Widodo berpendapat, hal tersebut tergantung dari aliran hukum yang digunakan. Jika yang digunakan aliran hukum positivisme, tentu bakal mengatakan apakah hukum itu cacat secara moral atau tidak, tapi putusan tidak bisa dibatalkan. Misalnya dalam kasus putusan MK, aliran ini berpegangan pada Pasal 24c ayat (1) UUD 1945 yang memandatkan MK mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putsannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945.

“Artinya putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait