Ini Beda Kriminalisasi, Over Kriminalisasi, dan Dekriminalisasi
Berita

Ini Beda Kriminalisasi, Over Kriminalisasi, dan Dekriminalisasi

Makna kriminalisasi yang banyak dibahas akhir-akhir ini sudah terlalu melebar. Kriminalisasi seolah-olah diartikan bahwa aparat penegak hukum telah memproses suatu hal yang sepatutnya tidak dapat dihukum.

M-26
Bacaan 2 Menit

 

Tahun 2015 lalu, Eki melakukan penelitian tentang over kriminalisasi yang menjadi bagian dari tesisnya di Universitas Leiden. Hasil risetnya menunjukkan, sepanjang tahun 1998-2014, Indonesia menerbitkan 156 undang-undang, dan 112 di antaranya memiliki ketentuan pidana. “Data itu mengindikasikan bahwa kita sebenarnya doyan untuk menghukum orang,” katanya.

 

(Baca Juga: Sulitnya Mendapat Pendampingan Kala Organisasi Advokat Pecah)

 

Kemudian, ia menemukan ada sebanyak 1.601 tindak pidana dari 112 undang-undang yang memiliki ketentuan pidana itu. Dari 1.601 tindak pidana tersebut, ada 716 tindak pidana yang benar-benar baru ada. “Artinya, selama 16 tahun reformasi, Indonesia sudah menciptakan 716 tindak pidana baru,” ujarnya. Bagi Eki, jumlah ini sudah berlebihan. Inilah yang disebut over kriminalisasi.

 

Ia menambahkan, over kriminalisasi yang cukup banyak ini digunakan oleh negara agar warganya patuh terhadap aturan, tapi menurutnya hal itu tidak berhasil. “Alih-alih berhasil mengikuti peraturan, kita justru mempertanyakan mengapa negara mau menghukum perbuatan-perbuatan yang tidak patut untuk dihukum? Ada potensi ketidak adilan di situ,” ujarnya.

 

Eki mencontohkan suatu tindak pidana yang sudah over kriminalisasi dapat ditemukan dalam Pasal 86 UU No. 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan. Pasal ini mengatur ancaman pidana 10 tahun penjara bagi orang yang sengaja memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar. Ancaman hukuman 10 tahun penjara itu setara dengan pengaturan di KUHP tentang orang yang melakukan penganiayaan berat yang mengakibatkan kematian.

 

Jadi, menurutnya, kalaupun memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar harus dihukum pidana, apakah angka 10 tahun itu sudah tepat. Sehingga Eki menyimpulkan, proses kriminalisasi yang dilakukan oleh Indonesia sebenarnya sangat sedikit merespons hal-hal yang bersifat kriminalitas.

 

Menurut Eki, daripada dihukum pidana, orang-orang yang melakukan tindak pidana yang bersifat administrasi itu lebih baik dihukum dengan cara lain yang sifatnya lebih kreatif. Hal itu dilakukan untuk menjaga agar pidana tetap menjadi ultimum remedium atau sarana terakhir dalam menghukum seseorang.

 

Ia mencontohkan, misalnya masyarakat ingin mengurangi konsumsi plastik demi lingkungan hidup yang lebih baik. Bukan lantas solusinya adalah orang yang pakai plastik dihukum, tapi bisa dilakukan dengan mewajibkan pajak yang gila-gilaan untuk mereka yang masih memproduksi plastik. Atau bisa diberikan insentif bagi mereka yang mengurangi penggunaan plastik.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait