“Di Indonesia kan ada kecenderungan bila dia tertangkap pasti menyangkal, karena diasumsikan hukum Indonesia menyatakan tersangka punya hak menyangkal. Tapi di sini, kalau menyangkal, hukumannya lebih berat bahkan bisa mencapai maksimal,” tambahnya.
Setidaknya, lanjut Narendra, sudah ada lebih dari lima WNI yang sudah diselamatkan dengan sistem “plead guilty” ini.
Narendra menambahkan, selain mengakui kesalahannya, terdakwa juga bisa diturunkan hukumannya bila menjadi justice collaborator untuk membongkar kejahatan yang lebih besar. Biasanya, Atase Kejaksaan KBRI akan berdiskusi dengan pihak kejaksaan Thailand ketika ada WNI yang sedang terjerat kasus berat. Ini dikenal dengan konsep “plea bargain”.
“Kita bujuk mereka jadi Justice Collaborator. Kalau dia cerita, hukuman bisa susut lagi,” tambahnya.
Praktek di Indonesia
Lebih lanjut, Narendra menjelaskan bahwa plea bargain (menegosiasikan tuntutan) terhadap pelaku kejahatan yang ingin menjadi justice collaborator memang sudah diterapkan secara praktek di Indonesia. “Itu memang tergantung penyidiknya,” ujar jaksa yang pakar di bidang tindak pidana pencucian uang ini.
Misalnya, lanjut Narendra, dalam kasus korupsi. Dalam praktek, tuntutan bisa saja diturunkan sebagai bagian strategi untuk membutuhkan info. “Nggak mungkin kita hukum orang berat, tetapi infonya nggak kebuka,” lanjutnya lagi.
Oleh karena itu, Narendra berharap konsep plead guilty dan plea bargain ini dimasukan ke dalam hukum acara pidana di Indonesia. “Prakteknya memang ada, teapi perlu diformalkan,” pungkasnya.