Kisruh PERADI Berdampak Pada Calon Advokat
Berita

Kisruh PERADI Berdampak Pada Calon Advokat

Dikhawatirkan dapat menghambat karir atau bahkan gagal sebagai advokat.

M-22
Bacaan 2 Menit
Suasana ujian advokat PERADI 2015. Foto: RES
Suasana ujian advokat PERADI 2015. Foto: RES

Musyawarah Nasional (Munas) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) di Makassar beberapa waktu lalu, menyisakan persoalan. Betapa tidak, Munas yang seyogyanya menghasilkan sebuah konklusi yang diterima seluruh anggota PERADI, malah menimbulkan kekisruhan baru.

Kini, kondisi PERADI terpecah menjadi tiga kubu. Pertama, kubu Otto Hasibuan yang kini digantikan oleh Fauzie Hasibuan berdasarkan Munas lanjutan di Pekanbaru. Kedua, kubu Juniver Girsang yang telah membentuk kepengurusan DPN PERADI 2015-2020. Dan ketiga, kubu caretaker Luhut MP Pangaribuan bersama Humphrey Djemat.

Akibat kekisruhan ini, sejumlah sarjana hukum yang berencana menjadi advokat, mengaku bingung. Misalnya Alldo Felix Januardy. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia angkatan 2009 ini mengaku bingung karena dirinya tak tahu PERADI kepemimpinan siapa yang akan melantiknya sebagai advokat. Sebab, sebagai advokat magang, dia hanya mengantongi kartu izin sementara dari PERADI.

“Kalau saya pribadi sebagai advokat magang belum juga dilantik baru lulus tes, masih baru punya kartu izin sementara jadi bingung sebenarnya saya itu nanti harus daftar ke PERADI-nya siapa dan saya nanti akan dilantik oleh PERADI yang mana,” ujarnya saat dihubungi hukumonline, Jumat (19/06).

Kekhawatiran ini dilontarkan bukan tanpa alasan. Seusai lulus dari FH, mahasiswa tersebut wajib mengikuti rangkaian proses yang panjang untuk menjadi advokat. Mulai dari mengikuti pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), ujian advokat, hingga magang selama dua tahun di firma hukum. Dan terakhir, calon advokat ini wajib disumpah oleh Pengadilan Tinggi setempat agar bisa beracara.

Kekhawatiran Alldo pun berlanjut. Ia mengaku khawatir hasil tes advokat yang sudah berhasil dilaluinya menjadi sia-sia. Sebab, jika kisruh ini berkepanjangan, tes yang dilakukannya itu bisa-bisa tidak diakui keabsahannya. Hal terburuk, dirinya dan teman-teman lain dapat gagal menjadi advokat.

“Implikasinya di kemudian hari kalau konfliknya berkepanjangan, saya dan teman-teman dianggap tidak lulus tes karena tes yang kami ambil itu saat berlangsungnya konflik. Kita khawatirnya kita nggak jadi advokat,” keluh mantan Asisten Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait