“Masa jabatan hakim MK ini juga merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Apapun pilihan pembentuk undang-undang tidak dilarang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.
Sebelumnya, Alumnus FH Universitas Muhammadiyah Riyanti mempersoalkan Pasal 22 UU MK terkait pembatasan masa jabatan hakim konstitusi. Pasal 22 UU MK menyebutkan masa jabatan hakim konstitusi selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk sekali masa jabatan berikutnya. Pemohon menilai ketentuan tersebut menimbulkan perlakuan berbeda antara masa jabatan hakim konstitusi dengan hakim agung, padahal keduanya lembaga yang setara.
Pemohon juga menilai norma Pasal 22 UU MK tidak selaras dengan Pasal 23 ayat (1) UU MK yang mengatur hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat apabila telah berusia 70 tahun, sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Karena itu, pemohon meminta MK memberi penafsiran konstitusional, bahwa Pasal 22 UU MK bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai “masa jabatan Hakim MK sejak mengucapkan sumpah pelantikan sampai memasuki usia pensiun yakni berusia 70 tahun.”
Pandangan itu disampaikan Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Wicipto Setiadi saat sidang lanjutan pengujian UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang dimohonkan Riyanti di Gedung MK, Selasa (23/12) kemarin. Dia menegaskan masa jabatan hakim MK tidak bisa dilepaskan dari lembaga pengusul hakim konstitusi yakni presiden dan DPR yang memiliki periode lima tahun.
“Ketika periodeisasi politik (DPR dan presiden) ada pembatasan, maka masa jabatan hakim MK juga dibatasi,” ujar Wicipto.
Wicipto melanjutkan apabila tidak ada periodeisasi masa jabatan hakim MK dan dipersamakan dengan hakim agung, hal ini justru tak sesuai dengan bunyi Pasal 23C ayat (3) UUD 1945. Ketentuan itu menyebutkan hakim MK berjumlah sembilan orang yang diusulkan oleh presiden, DPR dan MA.
“Praktik pengangkatan kembali hakim MK pada periode kedua selama ini tidak semata-mata didasarkan batas usia, tetapi melihat rekam jejak dan prestasi hakim MK pada periode sebelumnya,” kata dia.
Lebih jauh, Wicipto menjelaskan hakim MK merupakan representasi politik, sementara hakim agung berasal dari karier dan nonkarier. Alasan adanya pembatasan masa jabatan hakim MK sekaligus mencegah munculnya abuse of power dan menjaga check and balance untuk dapat mengoreksi kinerja antarlembaga negara.