Meluruskan Pemahaman Soal OTT dan Delik Suap Patrialis Akbar
Berita

Meluruskan Pemahaman Soal OTT dan Delik Suap Patrialis Akbar

Tertangkap beberapa saat setelah tindak pidana dilakukan juga dapat disebut OTT.

NOV
Bacaan 2 Menit
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar. Foto: RES
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar(PAK), Basuki Hariman(BHR), Ng Fanny(NGF), dan seorang perantara bernama Kamaludin(KM)di tiga lokasi berbeda pada Rabu (25/1) lalu masih menimbulkan pertanyaan bagi sejumlah pihak.

Pertama, mengapa KPK menyebutnya sebagai OTT jika penangkapan dilakukan di tiga lokasi berbeda dan saat penangkapan belum terjadi serah terima uang dari tersangka pemberi atau perantara suap kepada Patrialis? Kedua, mengapa KPK menjerat Patrialis dengan delik suap, meski uang suap belum berpindah ke tangan Patrialis?

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, ada kekeliruan pemahaman, seolah-olah OTT harus dilakukan di satu lokasi. Padahal, sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP, ada empat kondisi yang dapat disebut sebagai tertangkap tangan. Antara lain, tertangkap saat melakukan tindak pidana atau beberapa saat setelah tindak pidana dilakukan.
Pasal 1 angka 19 KUHAP
Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu

Setelah memahami pengertian tangkap tangan, mari simak kronologis peristiwa OTT yang dilakukan KPK. Pada 25 Januari 2017 pagi, sebelum OTT, Patrialis bertemu dengan Kamaludin yang diduga sebagai pihak perantara di kawasan lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur. "Saat itulah indikasi transaksi terjadi," kata Febri di KPK, Senin (30/1).

Transaksi yang dimaksud Febri bukanlah serah terima uang, melainkan transaksional "penerimaan janji" uang Sing$200 ribu yang disertai dengan penyerahan salinan draf putusan MK Nomor 129/PUU-XIII/2015. Dan, selain janji, beberapa waktu sebelumnya, Patrialis diduga sudah menerima suap lain dari Basuki senilai AS$20 ribu.(Baca Juga: Patrialis Dicokok KPK, Komisi Hukum DPR: Kami Kaget Luar Biasa)

Pasca pertemuan di lapangan golf, KPK mengamankan Kamaludin, sedangkan Patrialis kembali ke MK. Dari Kamaludin, KPK menemukan draf putusan MK Nomor 129/PUU-XIII/2015. KPK telah memastikan bahwa draf yang ditemukan dari tangan Kamaludin sama dengan draf putusan asli yang belum dibacakan oleh MK.

Draf putusan tersebut terkait dengan pengujian materi UU No.41 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Basuki selaku pengendali sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang importasi daging diduga memiliki kepentingan agar putusan itu dikabulkan sebagian.

KPK pun bergerak ke lokasi perusahaan Basuki di Sunter, Jakarta Utara. KPK mengamankan Basuki, sejumlah orang, serta barang bukti. Baru, pada malam harinya, KPK mengamankan Patrialis di Grand Indonesia, Jakarta Pusat. Penangkapan di ketiga lokasi itu disebut Febri sebagai rangkaian peristiwa OTT.

"Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum acara. Sebab, di Pasal 1 angka 19 KUHAP ditegaskan ada empat kondisi yang secara alternatif dapat dimaknai sebagai tangkap tangan. Dalam konteks ini, sesuai Pasal 1 angka 19 KUHAP, OTT dilakukan oleh KPK beberapa saat setelah tindak pidana itu terjadi," ujarnya.

Febri mengaku, ada pertimbangan tertentu mengapa Patrialis tidak langsung "diciduk" bersamaan dengan Kamaludin. KPK ingin terlebih dahulu memastikan transaksi benar-benar terjadi, termasuk memastikan temuan draf putusan MK dalam bentuk informasi elektronik yang diduga menjadi salah satu alasan pemberian suap. (Baca Juga: Arief Minta Maaf MK Kembali Lakukan Kesalahan)

"Kami juga sudah memiliki bukti-bukti pertemuan para tersangka di sejumlah tempat di beberapa waktu sebelumnya. Ini akan kami sampaikan terang-benderang pada persidangan nanti. Kami akan tunjukan bagaimana pihak-pihak itu mengatur, konsensus terjadi, hingga indikasi suap sampai pada proses transaksional dan kami lakukan OTT," terangnya.

Kemudian, mengenai pemahaman pasal suap yang dikenakan terhadap Patrialis, menurut Febri perlu pula diluruskan. Sebab, yang disebut sebagai tindak pidana suap dalam Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 UU Tipikor bukan hanya perbuatan menerima hadiah, tetapi juga menerima janji. Terlebih lagi, janji itu sudah diwujudkan dalam bentuk komitmen.

"Itu rumusan pasal suapnya. Dalam kasus ini, indikasi penerimaan oleh PAK adalah hadiah sejumlah AS$20 ribu. Hadiah ini sudah diterima sebelumnya dan 'janji'. Jadi, janji di sini bukan hanya dijanjikan, tapi sudah ada apa yang disebut sebagai meeting of mind, sudah terjadi peristiwa yang transaksional dengan nilai sekitar Sing$200 ribu," tuturnya.
Pasal 12 huruf c UU Tipikor
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar : hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
Pasal 11 UU Tipikor
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya

Sebenarnya, kasus suap dalam bentuk “penerimaan janji” bukan kali ini saja terjadi. Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah memutus beberapa kasus, antara lain kasus suap pengurusan sengketa Pilkada di MK dengan terdakwa M Akil Mochtar dan kasus suap pengurusan kuota impor daging dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq.

Dalam putusan kasasi No.336 K/Pid.Sus/2015, Akil terbukti menerima hadiah atau janji terkait pengurusan sejumlah sengketa Pilkada di MK. Dua diantaranya adalah penerimaan janji terkait sengketa Pilkada Gunung Mas sebesar Rp3 miliar dan janji pemberian uang Rp10 miliar yang disampaikan Zainudin Amali terkait sengketa Pilkada Jawa Timur.

Selain itu, dalam putusan kasasi No.1195 K/Pid.Sus/2014, Luthfi dinyatakan terbukti menerima janji pemberian uang sebesar Rp40 miliar dari Maria Elizabeth Liman terkait pengurusan kuota impor daging PT Indoguna Utama. Sebagian dari janji tersebut telah diterima sebesar Rp1,3 mliar melalui Ahmad Fathanah.

Sebagaimana dikutip dari dalil penasihat hukum yang tertuang dalam putusan kasasi Akil, berkaitan dengan unsur “menerima janji” ini, pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Drs Adami Chazawi telah mengulasnya dalam bukunya yang berjudul “Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia”.

Dalam bukunya, pada halaman 79, Adami menjelaskan, unsur “menerima janji” dapat dianggap telah selesai dengan sempurna manakala telah ada keadaan-keadaan sebagai pertanda atau indikator bahwa mengenai apa isi yang dijanjikan telah diterima oleh pegawai negeri tersebut.(Baca Juga: Patrialis Akbar Mundur dari MK)

Antara lain, dengan anggukan kepala atau keluar ucapan atau kata-kata yang karena sifatnya dapat dinilai atau dianggap menerima (misalnya mengucapkan kata iya, baik, terimakasih. Alhamdulillah, yes, ok, dan sebagainya). tetapi tidak dapat terjadi dengan tidak memberi isyarat apapun atau diam.
Tags:

Berita Terkait