Pasca UU Cipta Kerja Terjadi Perubahan terhadap Aspek Pertanahan Migas
Utama

Pasca UU Cipta Kerja Terjadi Perubahan terhadap Aspek Pertanahan Migas

Terdapat sejumlah catatan atas perubahan dalam PP No. 19 Tahun 2021 setelah terbitnya UU Cipta Kerja, salah satunya penambahan muatan preferensi bentuk ganti kerugian dalam DPPT.

Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

Lalu, Perma No. 2 Tahun 2016 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa Penetapan Lokasi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada Peradilan Tata Usaha Negara, Perma No. 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan dan Penitipan Ganti Kerugian ke Pengadilan Negeri dalam Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan seterusnya.

“Ada perubahan dalam PP No. 19 Tahun 2021 setelah terbitnya UU Cipta Kerja. Pertama, penambahan muatan preferensi bentuk ganti kerugian dalam Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT). Ini di peraturan sebelumnya untuk preferensi bentuk ganti kerugian ini dilakukan pada saat musyawarah dalam tahap pelaksanaan, tapi sekarang ini di dalam dokumen perencanaannya kita sudah bisa mencantumkan kira-kira apa preferensinya?”

Kedua, pengadaan tanah dalam kawasan hutan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan/perubahan peruntukan. Farida mengkonfirmasi bahwa ini hanya untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Ketiga, Kementerian ATR/BPN membantu instansi yang memerlukan tanah dalam penyusunan DPPT.

Keempat, permohonan penetapan lokasi dilampiri peta rencana dan berita acara kesepakatan. Untuk skala besar, sebelum penetapan lokasi diterbitkan, segala macam tumpang tindih yang ada harus sudah bisa diselesaikan atau ada berita acara kesepakatan. Kelima, penetapan lokasi skala kecil diterbitkann oleh Bupati/Walikota. Keenam, jangka waktu dari penetapan lokasi adalah 3 tahun dan dapat diperpanjang tanpa memulai proses dari awal, dan seterusnya.

“Jadi memang nampak ada percepatan-percepatan, tapi sebenarnya apa sih yang masih menjadi kendala dalam pengadaan tanah? Karena orang sangat (sensitif) dengan terkendala lahan dan izin. Kebetulan kami memang mengalami ya, tumpang tindih dengan lahan pertanian pangan berkelanjutan ini lagi top (struggle) bisa dibilang,” ungkapnya.

Jika terjadi tumpang tindih, mau tidak mau harus mengganti lahan pertanian dan infrastruktur sawah sekaligus penggantian dan pencetakan sawah baru harus selesai sebelum berkegiatan. Tantangan lainnya yang dirasakan dalam pengadaan tanah ialah pemilik tidak mau menjual tanahnya, tumpang tindih di area HGU (Hak Guna Usaha), sampai dengan penolakan warga sekitar terhadap operasi.

“Apa upaya yang bisa kita lakukan? Tidak sempurna, tetapi untuk bisa mempercepat. Kita sudah melakukan MoU (Memorandum of Understanding) dengan Kementerian ATR/BPN, tidak hanya untuk percepatan sertifikasi tanah saja, tapi untuk asistensi penyelesaian proses pengadaan tanah.”

Tags:

Berita Terkait