Peneliti dan Akademisi Sebut UU Ormas Otoriter
Berita

Peneliti dan Akademisi Sebut UU Ormas Otoriter

UU Ormas tak hanya bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945.

ASH
Bacaan 2 Menit
Peneliti dan Akademisi Sebut UU Ormas Otoriter
Hukumonline
Profesor riset yang juga pengamat politik LIPI, Syamsuddin Haris, menilaiUU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) merupakan warisan rezim otorier. Sebab, UU Ormas dibangun berdasarkan kerangka pikir yang keliru. Bahkan, cenderung sesat, yakni sikap ketidakpercayaan negara pada masyarakatnya, sehingga semua aktivitas masyarakat patut dicurigai, perlu diatur, dibina, dan diawasi oleh negara.

“Kerangka pikir semacam ini hanya pantas dimiliki oleh rezim otoriter seperti Orde Baru yang menjadikan masyarakat sebagai musuh negara, sehingga semua aktivitas masyarakat dicurigai dan diawasi negara,” kata Syamsuddin saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Ormas di ruang sidang MK, Senin (17/3).

Syamsuddin mengatakan kerangka berpikir rezim otoriter seperti wajar mengingat sistem otoriter negara hanya percaya dengan dirinya sendiri. Jadi, mengherankan jika sistem demokrasi konstitusional yang dianut bangsa Indonesia, paradigma dan kerangka pikir itu dihidupkan kembali oleh pembentuk UU.

“Kehadiran berbagai kelompok kepentingan atau ormas berbasis kesamaan kepentingan bersifat sukarela, semestinya diapresiasi negara. Bagaimanapun keberadaan ormas adalah wujud partisipasi dan kontribusi berbagai elemen masyarakat bagi pembangunan bangsa,” kata Syamsuddin.

Menurutnya, urgensi UU Ormas tidak relevan lagi. Sebab, semua kekhawatiran terkait tindak kekerasan dan anarki oleh ormas tertentu, penyimpangan ideologi negara Pancasila, pemberian sumbangan dari pihak asing, sudah ada solusi dan sanksinya dalam peraturan perundang-undangan lain.

“Meningkatnya tindak kekerasan dan anarki lebih dari 10 tahun terakhir tak bisa dijadikan pembenaran menerbitkan UU Ormas ini. Ini lebih karena kegagalan negara mengelola kebebasan berekspresi dan penegakan hukum,” ujar ahli yang sengaja dihadirkan oleh para pemohon ini.

Dia menambahkan UU No. 17 Tahun 2013 ini justru lebih buruk dari UU No. 8 Tahun 1985 yang diterbitkan saat rezim Orde Baru. Kenapa lebih buruk? Jawabannya sangat jelas karena paradigma dan berpikir UU Ormas keliru dan sesat yang merupakan peninggalan rezim Orde Baru.

“UU Ormas tak hanya bertentangan dengan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, tetapi bertentangan dengan akal sehat dan rasa keadilan masyarakat selaku sumber legitimasi politik bagi keabsahan negara dan pemerintahan.”

Ahli lain, akademisi Fakultas Hukum UGM Zainal Arifin Mochtar menilai Pasal 1 angka 1 dan 6 UU Ormas mengancam kebebasan berserikat yahg dijamin konstitusi. Sebab, hak kebebasan berserikat ini pelaksanaannya semakin sempit yang menjadi bentuk tunggal yaitu ormas. Pengaturan Pasal 10 dan 11 merupakan pengaturan ulang dan saling bertentangan baik dalam UU Ormas sendiri maupun undang-undang lain, seperti UU Yayasan, Statsblad tentang Perkumpulan Berbadan Hukum. Pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian hukum.

“Semangat mengontrol hak kebebasan berserikat bisa terlihat dalam Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 57, Pasal 59 ayat (2) huruf b, c, e UU Ormas,” katanya.

Koalisi masyarakat sipil seperti FITRA, ICW, YLBHI, YAPPIKA, KPSI, HRWG, dan Imparsial memohonkan pengujian Pasal 1 angka 1, Pasal 1 angka 6, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 42 ayat (2), Pasal 57 ayat (2),(3), dan Pasal 59 ayat (2) huruf b, c, e UU Ormas. Kesebelas pasal itu dinilai mengekang kebebasan berserikat dan merugikan hak-hak konstitusional pemohon karena melahirkan norma yang ambigu, tidak jelas, dan multitafsir.

Para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 23, Pasal 29 ayat (1), Pasal 57 ayat (2),(3), dan Pasal 59 ayat (2) huruf bc, dan ekarena bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 1 angka 6 bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dibaca menteri adalah yang menyelenggarakan hukum dan HAM. Pasal 42 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dibaca sistem informasi ormas dikembangkan oleh kementerian atau instansi terkait dan dikoordinasikan oleh Kemenkumham.

Sebelumnya pengujian UU Ormas in juga diajukan oleh PP Muhammadiyah karena dinilai bertentangan dengan paragraf keempat pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945 karena membatasi/mengekang kebebasan berserikat dan berkumpul. Dengan dalih menciptakan ketertiban yang dibungkus melalui Undang-Undang yang bersifat represif dan mengandung nuansa birokratis.

PP Muhammadiyah meminta 21 pasal, yakni pasal 1 angka 1, pasal 4, pasal 5, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11, pasal 21, pasal 23, pasal 24, pasal 25, pasal 30 ayat (2), pasal 33 ayat (1) dan (2), pasal 34 ayat (1) pasal 35, pasal 36, pasal 38. Pasal 40 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), pasal 57 ayat (2) dan ayat (3), pasal 58, serta pasal 59 ayat (1) dan (3) huruf a UU Ormas dibatalkan.
Tags:

Berita Terkait