Poin Ini yang Perlu Direvisi dalam UU Mahkamah Konstitusi
Utama

Poin Ini yang Perlu Direvisi dalam UU Mahkamah Konstitusi

Selain MK harus membuka diri terhadap pengawasan eksternal, rekrutmen calon hakim MK dari unsur eksekutif dan yudikatif mesti lebih transparan dan partisipatif.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Gedung DPR. Foto: RES
Gedung DPR. Foto: RES
Desakan agar segera dilakukan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) kian menguat. Desakan ini seiring munculnya kasus tertangkapnya mantan hakim MK Patrialis Akbar dalam kasus dugaan suap terkait pengujian UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Terlebih, RUU MK sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2017 dengan nomor urut 40.

Wakil Ketua Komisi III DPR Trimedya Pandjaitan mengatakan komisinya telah melakukan pertemuan dalam rangka konsultasi dengan MK. Selain memastikan tidak adanya keterlibatan hakim lain dalam kasus Patrialis, juga membahas kepastian RUU tentang MK. Salah satu, poin yang menjadi sorotan penting yakni pengawasan eksternal yang mesti dituangkan dalam UU MK.

“Mereka (MK) memang agak resisten dengan kata-kata pengawas, sebab menganggap hakim itu independen,” kata Trimedya, Jumat (3/2). (Baca Juga : MK Tidak Boleh ‘Alergi’ dengan Pengawasan eksternal)

Meski begitu, menurutnya konsep pengawasan terhadap hakim MK dapat diatur sedemikian rupa mekanismenya. Sebab, Komisi III DPR tidak sependapat apabila putusan MK menjadi objek pengawasan, kecuali hanya perilaku hakim yang perlu diawasi. Karena itu, Komisi III DPR mendesak MK agar membuka diri terhadap pengawasan eksternal yang selama ini nyaris memang tidak ada.

Dia berpandangan dalam RUU MK nantinya perlu dipertimbangkan tidak menggunakan istilah “pengawasan”, tetapi bisa menggunakan istilah lain yang lebih tepat. Yang pasti, pengawasan eksternal mesti diatur. Soalnya, bila hanya mengandalkan pengawasan internal atau pengawasan eksternal yang tidak garang kewenangannya, sama halnya dengan Komisi Kepolisian dan Komisi Kejaksaan.

“Sehingga, nyaris tidak ada dampak evaluasi terhadap lembaga atau institusi yang diawasi,” lanjutnya.  

Dia merasa pengawasan ekstenal bagi MK sudah absolut yang mesti diterapkan agar tidak terjadi kasus seperti Akil dan Patrialis di kemudian hari. “Pengawasan dari luar dong. Cuma harus kita sepakati dalam UU MK itu bahwa ini (pengawasan eksternal) tidak soal putusan,” tegasnya.

Trimed juga mengusulkan poin soal usia calon hakim MK perlu diubah. Bila merujuk Pasal 15 ayat (2) huruf d UU 8 Tahun 2011 mengatur usia paling rendah calon hakim MK minimal  47 tahun. Dirinya mengusulkan usia minimal dinaikan menjadi 55 tahun. Ia beralasan usia seseorang semakin sepuh tentu akan semakin matang dan bijak untuk menjadi seorang negarawan. “Mudah-mudahan, dengan dinaikan lebih wise dan negarawan,” kata politisi PDIP itu.

Senada, anggota Komisi III DPR, Sarifudin Sudding mengatakan poin pengawasan eksternal terhadap MK harus diterapkan. Sebab, adanya pengawasan eksternal itu bisa mencegah hakim MK bertindak abuse of power. “Aturan pengawasan eksternal bagi MK menjadi keharusan,” kata dia.

Tak hanya itu, mekanisme rekrutmen calon hakim MK penting untuk direvisi dalam RUU MK. Tujuannya, agar lebih transparan dan partisipatif melibatkan partisipasi masyarakat dengan memberikan masukan soal rekam jejak calon hakim konstitusi. Soalnya, selama ini pola rekrutmen calon hakim MK dari unsur eksekutif dan yudikatif cenderung lebih tertutup.

“Kita tidak tahu selama ini bagaimana proses atau mekanisme yang dilakukan pihak pemerintah ketika mengusulkan calon hakim konstitusi. Tetapi langsung diangkat, seperti Patrialis yang proses pengangkatannya sempat dibatalkan PTUN,” ungkapnya. (Baca Juga : Periksa Patrialis, MKHK Fokus pada Dugaan Pelanggaran Etik)

Karena itu, di era Pemerintahan Joko Widodo, mekanisme transparansi dan partisipatif untuk merekrut calon hakim konstitusi pengganti Patrialis mesti bisa dilakukan. Sebab, setelah Patrialis ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan suap, Presiden Jokowi langsung membentuk Tim Panitia Seleksi (Pansel) untuk menjaring calon hakim konstitusi menggantikan posisi Patrialis. “Saya setuju dengan Pansel, tetapi ya mesti transparan dan partisipatif,” harapnya.
Tags:

Berita Terkait