PP, Peraturan Paling Banyak Diuji di Mahkamah Agung
Berita

PP, Peraturan Paling Banyak Diuji di Mahkamah Agung

Dari 99 perkara yang diputus MA tahun 2015, hanya enam permohonan yang dikabulkan.

MYS
Bacaan 2 Menit
Gedung MA. Foto: RES
Gedung MA. Foto: RES
Sepanjang tahun 2015, Pemerintah menerbitkan tidak kurang dari 142 jenis Peraturan Pemerintah (PP). Beberapa dari PP itu telah dipersoalkan ke Mahkamah Agung melalui hak uji materiil (HUM). Salah satunya, PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Data terbaru yang belum lama ini dirilis Mahkamah Agung dalam Laporan Tahunan menyebutkan PP adalah jenis peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang paling banyak dipersoalkan pemohon melalui HUM. Dari 72 permohonan yang diterima MA (Januari-Desember 2015), 19 di antaranya adalah PP, atau setara dengan 26,39 persen dari total seluruh permohonan yang masuk.

Jenis peraturan berikutnya yang paling banyak dimohonkan uji adalah Peraturan Menteri (13), Peraturan KPU (12), dan Peraturan Daerah alias Perda (10). Jenis peraturan lain yang dimohonkan uji masing-masing jumlahnya di bawah 10. Peraturan Presiden diajukan empat kali. HUM Keputusan Menteri dan Peraturan Gubernur masing-masing 2 kali. Selebihnya, seperti  Peraturan Walikota, dan Qanun Aceh, diajukan satu kali. Yang menarik, ada pengujian terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), Surat Keputusan Direksi BRI, dan Instruksi Wakil Kepala Daerah.

Jumlah PP yang dimohonkan uji tahun 2015 sama dengan jumlah yang diterima Mahkamah Agung pada tahun 2013. Dua tahun sebelumnya MA menerima 76 perkara HUM, yang berarti terjadi penurunan pada tahun 2015.

Pengajar ilmu perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Jember. Bayu Dwi Anggono berpendapat banyaknya PP yang dimohonkan uji tidak dapat dilepaskan dari kedudukan PP sebagai jenis peraturan perundang-undangan yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan suatu UU. Dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disebutkan PP adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.

Dijelaskan Bayu, PP merupakan jenis peraturan delegasi yang utama dari suatu UU mengingat dalam sistem pemerintahan presidensial delegasi dari UU kepada menteri secara langsung untuk mengatur melalui peraturan menteri tidaklah wajar. “Mengingat kedudukan PP yang demikian dan mengingat substansi PP yang sangat terkait dengan pelaksanaan suatu UU maka sangat wajar banyak pihak yang menguji PP karena dianggap bertentangan dengan UU yang memberikan delegasi dan melanggar hak-hak konstitusional warga negara,” jelas dosen yang meraih gelar doktor hukum dalam bidang perundang-undangan itu.

Meskipun hanya menerima 72 perkara HUM pada tahun 2015, Mahkamah Agung harus memutuskan 99 perkara karena ada 24 sisa perkara yang belum putus tahun 2014. Hebatnya, ke-99 perkara itu diputus pada tahun berjalan sehingga beban perkara HUM memasuki 2016 adalah nol. Dilihat dari amar putusan, Mahkamah Agung melaporkan hanya enam perkara yang dikabulkan. Sisanya, tidak dapat diterima (56 perkara), dan ditolak (37 perkara). Laporan Tahunan Mahkamah Agung tak merinci perkara mana saja yang dikabulkan.

Dari segi jumlah, permohonan HUM bisa dibandingkan dengan permohonan pengujian UU ke Mahkamah Konstitusi. Pada tahun yang sama MK menerima 140 perkara, plus sisa 80 perkara tahun sebelumnya, sehingga total ada 220 permohonan pengujian Undang-Undang.

Lepas dari perbandingan itu, menurut Bayu, semakin banyak peraturan perundang-undangan di bawah UU yang dimohonkan uji menunjukkan kesadaran warga negara bahwa bukan hanya UU yang berpotensi melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Peraturan di bawah Undang-Undang pun punya potensi yang sama. Undang-Undang mungkin tak mengandung ketentuan yang melanggar hak konstitusional warga, namun bukan berarti peraturan pelaksananya bersifat demikian.

Bisa jadi ada jurang pemikiran antara pembentuk setiap jenis peraturan, “Antara badan pembentuk Undang-Undang dengan badan pembentuk peraturan pelaksanaan adalah badan yang berbeda sehingga kesalahan memahami perintah dan maksud Undang-Undang sangat mungkin terjadi,” pungkas Bayu.
Tags:

Berita Terkait