Pungutan OJK Dinilai Memberatkan Akuntan Publik
Berita

Pungutan OJK Dinilai Memberatkan Akuntan Publik

Dikhawatirkan, tak ada lagi yang mau beprofesi sebagai akuntan publik.

FAT
Bacaan 2 Menit
Pungutan OJK Dinilai Memberatkan Akuntan Publik
Hukumonline
Berlakunya PP NO. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus menuai kritikan. Kali ini, kritikan datang dari akuntan publik. Ketua Umum Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI) Tarkosunaryo menilai, berlakunya pungutan OJK semakin memberatkan profesi akuntan publik.

Menurutnya, pungutan tersebut tidak pas jika dikenakan kepada akuntan publik yang profesinya selalu berkaitan dengan pelaku jasa keuangan. “Tidak pas, profesi kami penunjang yang notabene diperlukan oleh pelaku jasa keuangan,” katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jika dilihat dari PP Pungutan, Tarko mengatakan, setidaknya terdapat beberapa biaya yang harus dibayarkan oleh akuntan publik. Pertama, pada saat akuntan publik ingin mendaftarkan diri ke OJK. Pada saat itu, akuntan publik wajib membayar biaya sebesar Rp5 juta kepada otoritas.

Pungutan berikutnya, terkait biaya tahunan untuk profesi penunjang pasar modal. Akuntan publik secara individu wajib membayar iuran ke OJK Rp5 juta tiap tahunnya. Pungutan ini wajib dibayarkan pada pertengahan bulan Juni di tiap tahun. Sedangkan pungutan tahunan yang lain terkait dengan Kantor Akuntan Publik (KAP).

Menurut Tarko, pungutan ini semakin tidak logis lantaran tiap KAP wajib menyetorkan sebesar 1,2 persen dari nilai kontrak kegiatan di sektor jasa keuangan. Menurutnya, pungutan ini semakin memberatkan akuntan publik apalagi pekerjaan yang dilakukan oleh akuntan selalu terkait dengan sektor jasa keuangan.

Belum lagi, kata Tarko, terkait kewajiban pajak penghasilan (PPh) atau pajak penjualan (PPn) yang harus dibayarkan oleh akuntan publik. Bahkan, akuntan publik juga memiliki iuran kepada asosiasi. Sejumlah biaya ini, belum termasuk dengan kewajiban mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL) paling sedikit 30 Satuan Kredit PPL (SKP) serta pelatihan Standar Akuntansi Publik (SAP).

“Melakukan pelatihan tiap tahun yang ongkosnya juga tidak kecil,” kata Tarko.

Seluruh beban ini dikhawatirkan Tarko berdampak pada profesi akuntan publik. Menurutnya, beban pungutan yang begitu banyak akan membuat anak-anak muda enggan memilih profesi akuntan publik sebagai pekerjaan.

“Jadi tidak menarik bagi anak-anak muda untuk jadi akuntan, kebanyakan akuntan yang ada sudah usia lanjut, ini memberatkan,” katanya.

Di sisi lain, kata Tarko, terdapat Pusat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (PPAJP) yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ia mempertanyakan tugas dan wewenang PPAJP hampir mirip dengan yang dilakukan OJK.

“Apakah (OJK) tidak tumpang tindih dengan Kemenkeu. Sedikit banyak akan ada overlapping-nya, ini jadi kurang pas bagi kami.”

Sebelumnya, Direktur Pengaturan Pasar Modal OJK Retno Ici mengatakan, dari PP Pungutan OJK terdapat klausul mengenai biaya tahunan bagi KAP, kantor konsultan hukum pasar modal, kantor notaris, kantor jasa penilai publik, perusahaan konsultan aktuaria, sepanjang kantor dimaksud memiliki izin, persetujuan, pengesahan atau pendaftaran dari OJK. Biaya tahunan tersebut sebesar 1,2 persen dari nilai kontrak kegiatan di sektor jasa keuangan.

Menurutnya, dari klausul tersebut hanya KAP yang wajib membayar iuran sebesar 1,2 persen dari nilai kontrak kegiatan di sektor jasa keuangan. Sedangkan kantor yang lain tidak kena pungutan. Hal itu dikarenakan, hanya KAP saja yang wajib memiliki izin, persetujuan, pengesahan atau pendaftaran dari OJK.

Terlebih lagi, lanjut Retno, terdapat regulasi di sektor jasa keuangan yang mengatur keberadaan KAP, yakni UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik. “Saat ini tidak ada regulasi di sektor jasa keuangan yang mengatur kantor konsultan hukum, kantor notaris atau kantor apraisal, kecuali KAP,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait