Setengah Hati Implementasi Perpres Benefecial Ownership
Terbaru

Setengah Hati Implementasi Perpres Benefecial Ownership

Masih lemahnya komitmen untuk mengungkap penerima manfaat dari korporasi di Indonesia. Dampaknya, risiko kejahatan seperti korupsi yang melibatkan korporasi sangat tinggi. Padahal, peran swasta signifikan dalam berbagai kejahatan korupsi seperti pemberian suap dan gratifikasi

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Diskusi bertema 'Setengah Hati Transparansi Beneficial Ownership Korporasi'  Jumat (3/2/2023). Foto: Istimewa
Diskusi bertema 'Setengah Hati Transparansi Beneficial Ownership Korporasi' Jumat (3/2/2023). Foto: Istimewa

Implementasi Peraturan Presiden (Perpres) No. 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme masih minim. Data Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan hanya sekitar 22 persen pada 2021, perusahaan sudah melaporkan data perusahaan sesuai ketentuan Perpres 13/2018 tersebut. Padahal, Perpres tersebut korporasi wajib melaporkan siapa yang bertindak sebagai pemilik manfaat.

Koordinator  Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto menjelaskan implementasi Perpres 13/2018 tersebut belum optimal. Walhasil, sebagian besar perusahaan belum melaksakan kewajibannya sesuai dengan aturan. Padahal, terdapat urgensi khususnya dalam penggunaan korporasi sebagai kendaraan melakukan tindakan kejahatan.

“Transparansi soal beneficial ownership ini jadi penting karena anonimitas penerima manfaat yang tidak terlihat memungkinkan banyak aksi ilegal bisa saja terkait penggelapan pajak, korupsi hingga pendanaan terorisme bisa lolos dari penegak hukum,” ujarnya dalam acara ‘Setengah Hati Transparansi Beneficial Ownership Korporasi’ pada Jumat (3/2/2023) pekan lalu.

Baca juga:

Lebih lanjut, terdapat berbagai kasus terungkap ke publik seperti Panama Papers, Pandora Papers, Paradise Papers.  Bahkan dalam dokumen-dokumen tersebut melibatkan elit politik dan konglomerat Indonesia. Sayangnya, tidak terdapat penjelasan lengkap pemerintah ke publik mengenai dokumen tersebut.

Sementara itu, Staf Divisi Korupsi Politik ICW Yassar Aulia menambahkan,  dari hasil kajian ICW menunjukan masih lemahnya komitmen untuk mengungkap penerima manfaat dari korporasi di Indonesia. Dampaknya, risiko kejahatan seperti korupsi yang melibatkan korporasi sangat tinggi. Padahal, peran swasta signifikan dalam berbagai kejahatan korupsi seperti pemberian suap dan gratifikasi.

Dia menjelaskan, terdapat kasus korupsi yang menggunakan identitas seorang office boy sebagai petinggi perusahaan. Padahal, di balik perusahaan tersebut terdapat seorang yang berada dekat lingkungan elit pejabat negara atau anak seorang dari menteri saat itu. Yassar menyampaikan terdapat catatan pentingnya penerapan benficial ownership secara komprehensif.

Tags:

Berita Terkait