Mockingbird, Si Penyentil Sistem Juri
Resensi

Mockingbird, Si Penyentil Sistem Juri

Sebuah pengadilan adalah sebaik jurinya, dan juri hanya sebaik orang-orang yang menyusunnya.

NNC
Bacaan 2 Menit
<i>Mockingbird</i>, Si Penyentil Sistem Juri
Hukumonline

                   

Meski hendak menceritakan bagaimana tak adilnya sebuah lembaga pengadilan terhadap warga kulit hitam di masa itu, penceritaan dalam novel ini diambil dari sudut pandang seorang gadis berumur 6 tahun, bernama Jean Louis Finch alias Scout. Dia ini putri bungsu Atticus yang  bertindak sebagai narator dalam cerita fiksi novel ini.

 

Bukan cuma Atticus yang mendapat cemoohan, kehidupan Scout pun ikut guncang. Dia kerap mendapat cemoohan dari teman-temannya di sekolah bahkan oleh saudara sepupunya sendiri. Wee... pembela nigger, pencinta nigger, begitu ejekan mereka.

 

Tak tahan, Scout yang tomboi dan berbadan bongsor, awalnya meladeni ejekan itu dengan mengajak berbaku hantam demi membela kehormatan Atticus. Kelakuan kasar Scout ini malah mendapat peringatan dari ayahnya. Aku minta satu hal, kalau kau mau, kata Atticus. Tegakkan kepalamu tinggi-tinggi dan tahan tanganmu untuk memukul. Apa pun yang dikatakan orang kepadamu, jangan dimasukkan ke hati. Cobalah untuk melawan dengan pemikiranmu…..sebaiknya begitu, meskipun mereka akan terus melawan, lanjutnya.

 

Ini tentu saja membingungkan Scout yang nalarnya masih belum matang. Apalagi, Atticus bilang ia tak yakin kasusnya akan menang di pengadilan. Dalam ketidakpahaman Scout, Atticus menjawabnya secerdas pembelaannya di pengadilan. Hanya karena kita telah tertindas selama seratus tahun sebelum kita memulai melawan, bukanlah alasan bagi kita untuk tidak berusaha menang, tutur Atticus. Satu hal yang tidak tunduk pada mayoritas adalah hati nurani, tambahnya.

 

Pembaca juga akan menangkap kearifan Atticus tatkala berusaha menasehati Scout yang tengah kebingungan melihat tingkah laku seseorang yang membikinnya berprasangka macam-macam. Atticus menuturinya dengan kalimat sederhana yang sesungguhnya patut diselami setiap orang dimana pun ia berada. Dia mengatakan, Kau baru bisa memahami seseorang kalau kau sudah memandang suatu situasi dari sudut pandangnya. Kalau kau sudah memasuki kulitnya dan berjalan-jalan di dalamnya, tuturnya.

 

Inilah pesan besar yang disuguhkan novel ini. Begitu kejam dan bahayanya sebuah prasangka yang sering dijadikan dasar seseorang untuk menghakimi sebuah situasi tanpa mau mendalami secara obyektif persoalan sesungguhnya terlebih dulu. Prasangka, hal remeh yang kerap membutakan pandangan seseorang bahkan sebuah komuni masyarakat. Ketika sebuah prasangka telah menjadi keyakinan masyarakat, maka sebuah kebenaran pun dengan mudah menjadi sebuah kesalahan, kesempurnaan menjadi kecacatan, dan keadilan menjadi lambang suara prasangka semata.

 

Monolog Atticus saat membawakan kesimpulan pemeriksaan Tom Robinson di muka dewan juri, barangkali bisa mengimbangi prasangka yang menghinggapi warga Maycomb ketika itu. Dalam untain kata yang menggigit, Atticus berujar, Demikianlah seorang Negro yang pendiam, terhormat, rendah hati, dan dengan kekurangajaran yang tak termaafkan merasa kasihan kepada seorang perempuan berkulit putih, harus bersaksi melawan dua orang berkulit putih.  

 

Sampai di sini pembaca pasti bisa menduga, pengadilan di Maycomb telah menempatkan satu saksi melawan dua saksi bahkan dalam kedudukan yang sama sekali tidak imbang, dua kesaksian kulit putih, satu kesaksian terdakwa kulit hitam. Atticus mengatakan, Mereka (para saksi kulit putih, red), tak akan diragukan, yakin bahwa Anda, Tuan-tuan, akan ikut bersama mereka dengan asumsi-asumsi jahat—bahwa semua Negro berbohong, semua Negro adalah makhluk yang pada dasarnya tidak bermoral, semua lelaki Negro berbahaya jika di dekat perempuan kita.

 

Akhirnya, Atticus hendak menyadarkan prasangka yang menghinggapi warga Maycomb pada masa itu. Pada Tim Juri pengacara itu berujar, Ada satu hal di negara ini yang menunjukkan bahwa semua manusia diciptakan sederajat. Ada satu lembaga kemanusiaan yang membuat seorang pengemis sederajat dengan Rockerfeller, seorang bebal sederajat dengan seorang Einstein. Lembaga itu, Tuan-tuan, adalah pengadilan. Pengadilan kita memiliki kecacatan, sebagaimana lembaga manusia mana pun. Tetapi di negara ini, pengadilan kita merupakan penyetara besar, dan dalam pengadilan kita, semua manusia diciptakan sederajat.

 

Atticus juga menambahkan, Tuan-tuan, pengadilan tidak lebih baik daripada setiap orang di antara kalian yang duduk di hadapan saya sebagai dewan juri ini. Sebuah pengadilan adalah sebaik jurinya, dan juri hanya sebaik orang-orang yang menyusunnya.

 

Dari sini dapat ditangkap, sistem juri bukan sistem ideal bagi seorang Atticus, namun hanya sebuah kenyataan sistem yang berlaku di hidupnya. Saya bukan seorang idealis yang meyakini dengan tegush integritas pengadilan dan sistem juri kita. Ini bukan ideal bagi saya, ini kenyataan yang hidup dan terjadi, tuturnya panjang lebar.

 

Saat juri masih terjangkiti prasangka umum—bahwa seorang Negro berderajat lebih rendah dari ras lainnya—apapun kesaksiannya semata merupakan kebohongan, maka seorang yang sejatinya tak bersalah pun akan tewas di hadapan eksekutor. Begitulah pada akhirnya nasib Tom Robinson yang ia bela.

 

Novel ini sedikit banyak mengingatkan kita pada Bumi Manusia Karya maestro sastra Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dalam bagian pertama Tetralogi buru  itu diceritakan bagaimana tak berdayanya dua pribumi, Nyai Ontosoroh dan Minke, melawan ketidakadilan pengadilan putih Kolonial Belanda. Pada akhirnya, yang terpenting bukan lagi sebuah peraihan kemenangan, melainkan sebuah kegigihan perjuangan mempertahankan suara nurani, suara keadilan yang tak selamanya bisa ditegakkan.

 

Jika Anda penggemar setia novel-novel John Grisham, jangan berharap Anda bisa menemui kisah-kisah intrik pengacara—yang seringkali bagai labirin dan spektakuler—dalam novel ini. Bagaimana pun juga, buku yang tergolong mendobrak sistem ini adalah narasi anak kecil berusia 6 tahun.

 

Penghujung 1960, saat Mockingbird mencetak sukses besar, Flannery O'Connor, salah satu pengarang yang dikagumi oleh Nelle Harper Lee—penulis novel ini, pernah mengatakan, Semua orang membelinya, dan mereka tak tahu sebenarnya sedang membaca buku anak-anak.

 

Karya perdana Lee ini diterbitkan kali pertama oleh penerbit Lippincott pada 11 Juli 1960, dijual seharga AS$3.95, dan menjadi buku fiksi paling laku. Di tahun pertama penerbitannya, Mockingbird mencatat rekor penjualan luar biasa dalam sejarah penerbitan di Negeri Paman Sam. Ia terjual 2,5 juta kopi, cetak 14 kali, dan menjadi buku pilihan dari tiga klub buku masyarakat Amerika sekaligus: Reader's Diggest Condensed Books, the Literary Guild, dan Book of the Month Club. Ia juga jadi pilihan British Book Society dan terbit di Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Belanda, Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia dan Cekoslovakia.

 

Sederet Penghargaan

Mockingbird akhirnya terjual 30 juta kopi, dan pada Mei 1961 berhasil meraih Pulitzer Prize, sebuah penghargaan bergengsi yang diakui dunia kesusasteraan internasional. Pada perayaan tahun kedua penerbitannya, novel ini masuk sebagai daftar buku terlaris selama 100 minggu dan terjual lebih dari 5 juta kopi di 13 wilayah. Roy Newquist dalam Counterpoint (1964), sebuah buku wawancara yang memuat percakapannya dengan penulis novel ini mengomentari, Tak ada hari yang terlewat dan terlupakan menjelang puncak musin panas di tahun itu yang tak membahas Mockingbird.

 

Pada 1988, Mockingbird dibaca hampir 74 persen pelajar di Amerika Serikat. Angka ini didasarkan pada data statistik dari National Council of Teachers of English. Sampai-sampai Claudia Durst Johnson, sarjana yang mempublikasikan statistik tersebut, berujar, Novel Lee mempengaruhi kehidupan mereka (pelajar AS,red) setelah Kitab Suci.

 

Maret 2005, 45 tahun sejak karyanya diterbitkan, Mockingbird masih mendulang penghargaan ATTY Award dari Spector Gadon & Rosen Foundation. Karya Lee mendapat penghargaan untuk gambaran positif para pengacara di dunia Kesusasteraan. Pada 21 Mei 2006, Lee masih juga menerima gelar kehormatan dari University of Notre Dame.

 

Lee kelahiran Monroeville, Alabama, wilayah yang diapit Montgomery dan Mobile, Amerika bagian Selatan, pada April 1926. Sebelum mulai menulis, perempuan ini bekerja di bagian pemesanan tiket Eastern Airlines and British Overseas Airways.

 

Jika Anda sempat menonton film Capote (2005), di situ Anda akan mendapati pula Harper Lee yang diperankan oleh Catherine Keener. Film itu mengerek Philip Seymour Hoffman yang memerankan Truman Capote sebagai Aktor terbaik Piala Oscar 2006. Lee memang terkenal mempunyai hubungan dekat dengan Capote, salah satu pioneer jurnalisme literal dari majalah mingguan The New Yorker yang mahsyur dengan karyanya berjudul In Cold Blood.

 

Seperti juga  Capote dan In Cold Blood yang difilmkan kemudian, Mockingbird juga pernah dibikin versi layar lebarnya pada 1962, disutradarai oleh Robert Mulligan. Akan halnya Capote, film ini mendapat 3 piala Oscar sekaligus dari delapan nominasi ajang Academy Awards.  Sama dengan Hoffman dalam Capote, Gregory Peck pemeran  tokoh Atticus juga dinobatkan sebagai aktor terbaik.

 

Uniknya, meski novel perdananya meraih penghargaan Pulitzer, Lee yang sempat nyangkut empat tahun di studi hukum University of Alabama, Amerika bagian Selatan—sebelum kuliah di Oxfod University, Wellington Square, Inggris—tak pernah menelorkan karya keduanya. Inilah keunikan seorang Lee sekaligus sebuah misteri besar.

 

Kalau anda penggemar karya Grisham yang terbiasa menyelami cerita sarat intrik-intrik dan suspense yang lebih membutuhkan otak ketimbang hati untuk mencerna ceritanya, novel ini barangkali bisa menyegarkan sisi nurani anda. Seperti kata Atticus, Satu hal yang tidak tunduk pada mayoritas adalah nurani…

 

Buku yang sangat layak baca bukan?

 

Sumber: http://riesalam.blogspot.com/ , www.wikipedia.com

 

Di negara yang peradilannya memakai sistem juri, suara mayoritas juri hampir pasti bakal menentukan hasil putusan pengadilan. Apalagi, jika para juri tak ingin merajut putusan kontroversial. Mereka cukup mengekor suara mayoritas yang hidup di  masyarakat. Mau tak mau, keganjilan pembuktian di hadapan meja hakim pun bisa berbalik menohok menjadi sebuah kebenaran sekaligus keadilan di meja hijau.

 

To Kill A Mockingbird

Penulis:Harper Lee (1960)

Diterjemahkan oleh Penerbit Qanita, Bandung (2006)

566 halaman

 

Novel ini setidaknya menyajikan kisah seorang pengacara yang memilih kehendak suara hati ketimbang memenangi sebuah kasus. Sejak awal, sang pengacara sudah yakin, kasus yang ia tangani muskil menang. Meski demikian, dia hendak mengatakan, melawan ketidakadilan dan penindasan lebih bermakna daripada mengikuti suara mayoritas masyarakat yang tengah sakit.

 

Mockingbird mengambil setting waktu sekitar tahun 1930-an. Pada era itu, sentimen ras tengah kencang bergaung di daratan Amerika Serikat. Sebuah masa yang sangat gelap, diliputi situasi ekonomi negeri yang tengah dikecamuk Depresi Besar. Ku Klux Klan, organisasi propagandis anti kulit hitam, pada masa itu memiliki hampir 5 juta pengikut, sebagian sangat fanatik, terutama di pelosok-pelosok pedesaan.

 

Cerita bermula ketika Atticus Finch, seorang pengacara di Maycomb County—sebuah kota kecil di negara bagian Alabama—ditunjuk oleh Hakim John Taylor untuk menangani perkara dakwaan perkosaan yang dituduhkan pada Tom Robinson, seorang warga kulit hitam. Keputusan Atticus ini mendapat cemoohan dari mayoritas warga kota. Maklum, membela seorang nigger—sebutan kasar untuk warga kulit hitam waktu itu—sama saja dengan menistakan diri sendiri, sebuah aib bagi keluarga kulit putih sekelas keluarga Finch.

Tags: