Pengadilan Tipikor Hukum Perwira Polisi
Berita

Pengadilan Tipikor Hukum Perwira Polisi

Penuntut umum dan terdakwa menyatakan pikir-pikir.

Mys
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Tipikor Hukum Perwira Polisi. Foto: SGP
Pengadilan Tipikor Hukum Perwira Polisi. Foto: SGP

Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Achmad Rivai lolos dari tuduhan pencucian uang. Tetapi mantan Kepala Unit Remaja, Anak, dan Wanita Ditserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya ini tidak lolos dari tuduhan korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis satu tahun penjara potong masa tahanan, plus denda 50 juta rupiah subsider tiga bulan kurungan.

Dalam sidang yang berlangsung Senin (20/2), majelis hakim dipimpin Sudjatmiko menilai terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan korupsi bersama-sama orang dengan melanggar ketentuan pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Barang bukti dalam kasus ini tetap dipergunakan untuk perkara lain atas nama Johny Widjaya.

Vonis satu tahun penjara lebih rendah dari rekuisitor jaksa. Penuntut umum Sharoli meminta majelis hakim menghukum terdakwa dua tahun penjara. Menggunakan model kumulatif alternatif, jaksa meminta Rivai dihukum dua tahun penjara dan denda Rp100 juta karena melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dengan orang lain, termasuk pengusaha Johny Widjaya (diberkas terpisah). Sharoli menggunakan Pasal 5 ayat (2) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Berdasarkan catatan hukumonline, ini bukan kali pertama Pengadilan Tipikor menghukum oknum polisi. Sebelumnya, Ajun Komisaris Polisi (AKP) Suparman divonis 8 tahun penjara. Permohonan kasasi penyidik KPK itu telah ditolak Mahkamah Agung. Bedanya, Suparman adalah penyidik KPK dan tersangkut kasus pemerasan saksi, sedangkan Rivai tersangkut perkara penanganan aset pailit. Ia dituduh menerima uang dari Johny Widjaya, pengusaha yang membeli hotel Podomoro, Jakarta Utara.

Dalam pertimbangan, majelis menilai berdasarkan fakta di persidangan, terdakwa terbukti menerima uang sebesar Rp200 juta dari Johny Widjaya melalui perantaraan Tarida Sondang P. Di persidangan, terdakwa mengakui duit 200 juta rupiah itu masuk ke rekeningnya. Tetapi pengiriman oleh Sondang tanpa sepengetahuan dan seizin terdakwa. Terdakwa baru tahu ada uang itu setelah diberitahu Sondang. Itu pula sebabnya, terdakwa menegaskan tidak ada hubungan antara pengiriman uang ke rekeningnya dengan pembukaan blokir HGB Hotel Podomoro.

Terdakwa memang diperintahkan atasan untuk menangani pengaduan nasabah tentang dugaan pengelapan aset pailit PT Sarana Perdana Indoglobal. Hotel Podomoro merupakan salah satu aset yang diblokir. Tetapi oleh terdakwa, blokir itu dibuka pada Agustus 2007. Setelah blokir dibuka, penjualan Hotel Podomoro akhirnya berhasil dilakukan. Johny Widjaya adalah pengusaha yang membelinya. Transfer uang dari Johny melalui Sondang berlangsung pada Juni 2008. Dalam pledoinya pekan lalu, terdakwa mengatakan tidak ada hubungan pembukaan blokir itu dengan pengiriman uang. Sebab ada jeda waktu yang panjang. Apalagi, duit 200 juta itu sudah dikembalikan terdakwa setelah mengetahui kiriman uang tersebut ke rekeningnya.

Namun, majelis hakim berpendapat uang 200 juta tersebut “terkait dengan pembukaan blokir”. Sebagai aparatur negara, terdakwa tidak mendukung kebijakan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Inilah faktor yang memberatkan. Sebaliknya, pengabdian terdakwa sebagai anggota polisi, sikap sopan, dan punya tanggungan keluarga menjadi unsur yang meringankan.

Tags: