Kisah Kontroversial Permen Fee Kurator
Fokus

Kisah Kontroversial Permen Fee Kurator

Imbalan jasa kurator berkali-kali memantik perdebatan. Ada kesalahan pendekatan yang dipakai penyusun regulasi.

HAPPY R. STEPHANY
Bacaan 2 Menit
Kisah Kontroversial Permen <i>Fee</i> Kurator
Hukumonline
Belum genap berusia satu tahun, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Imbalan Bagi Kurator dan Pengurus (Permen Fee Kurator) sudah dinyatakan melawan hukum. Mahkamah Agung menyatakan Permen Fee Kurator itu bertentangan dengan UU Kepailitan.

Meskipun singkat, beleid Menteri Hukum dan HAM ini cukup kontroversi. Kisruh pailit Telkomsel mungkin menjadi titik pangkal lahirnya peraturan ini. Bahkan, Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin terang-terangan mengatakan Permenkumham ini lahir karena telah diperingatkan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk mewaspadai kasus pailit Telkomsel.

Mendapat peringatan dari UKP4, ‘pasukan’ Amir tergopoh membuat Permen Fee Kurator. Pada 11 Januari 2013, peraturan yang dinilai dapat melindungi pailit Telkomsel itu disahkan. Sebaliknya, aturan lama yang mengatur tentang fee kurator dan pengurus, yaitu Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No.M.09-HT.05.10 Tahun 1998 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Salah seorang kurator Jamaslin James Purba yang saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI) sejak awal menyebutkan beleid itu cacat hukum. Ada aturan dalam Permenkumham 2013 yang menabrak sejumlah pasal dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal kontroversi tersebut adalah Pasal 2 ayat (1) huruf c Permenkumham 2013.

Permen ini dinilai telah mengebiri wewenang majelis hakim untuk menentukan siapa yang harus membayar imbalan kurator. Tak hanya memangkas kewenangan majelis hakim, peraturan ini sangat merugikan pemohon pailit, terutama kejaksaan sebagai pemohon pailit dengan atas nama kepentingan umum.

Sembilan kurator dan eks kurator Telkomsel, Feri S Samad mengajukan uji materi Permen ini ke Mahkamah Agung dengan dua permohonan terpisah. Hasilnya, pada 19 Desember 2013 lalu, MA mengabulkan permohonan sembilan kurator yang menyatakan Permenkumham ini bertentangan dengan UU Kepailitan.

Ketua Umum AKPI Jamaslin James Purba menyatakan tak ada yang istimewa dengan putusan MA itu. Ia sudah yakin sejak awal bahwa permen ini akan dibatalkan karena bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. “Biasa saja, karena memang ada peraturan yang dilanggar,” jawabnya kepada hukumonline, Senin (20/1).

Para kurator memang sudah telanjur senang terhadap amar putusan MA yang ‘mengabulkan’ uji materi dalam info perkara situs resmi MA. Namun, para kurator sebenarnya belum membaca secara utuh salinan putusan MA tersebut. Hal ini diakui oleh James.

James belum mengetahui apakah Permen Fee Kurator ini telah dibatalkan secara keseluruhan dan kembali ke Kepmenkumham 98 atau cukup membatalkan satu pasal kontroversi tersebut. “Permasalahannya, peraturan mana yang berlaku. Kita belum melihat putusannya,” lanjutnya lagi.

Meski begitu, James tegas menyatakan bahwa organisasi kurator tak dalam posisi menentukan apakah akan dibuat aturan baru tentang fee kurator atau tidak. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada Menteri Hukum dan HAM yang memiliki kewenangan itu. Namun, organisasinya akan siap mendukung pihak kementerian apabila kementerian berencana membuat aturan baru terkait fee kurator dan meminta saran organisasi.

James hanya menyarankan agar aturan fee kurator tak menyimpang dari UU Kepailitan. Selain itu, poin yang harus diperhatikan saat membuat aturan baru fee kurator adalah soal besaran fee kurator itu sendiri. Menurut James, besaran fee kurator sebaiknya mengacu pada Kepmenkumham Tahun 1998, yaitu 10 persen dari nilai aset termohon pailit. “Sepuluh persen saja orang sudah banyak teriak,” lanjut James.

Selain mengenai besaran fee kurator, James juga mengimbau untuk memperhatikan persoalan fee pengurus PKPU. Pasal 285 ayat (2) huruf d UU Kepailitan telah mengatur bahwa pengadilan wajib menolak pengesahan perdamaian apabila imbalan jasa dan biaya pengurus belum dibayar. James mengatakan UU Kepailitan memang telah mengatur secara jelas dan terang mengenai fee pengurus ini. Akan tetapi, praktiknya tidak demikian.

“Sebaiknya di SK Menteri ditegaskan lagilah agar bisa diterapkan sehingga para kurator dan pengurus dapat dilindungi karena sudah bekerja dengan keras,” pungkasnya.

Dosen Kepailitan di Universitas Airlangga, M Hadi Subhan mengatakan ada poin lain yang perlu diperhatikan apabila ingin membuat aturan baru fee kurator. Hadi menyarankan agar pembayaran imbalan jasa kurator kembali lagi berdasarkan presentase, bukan hourly basic.

Penerapan hourly basic di Permenkumham Tahun 2013 ini, sambung Hadi, dianggap telah menyamakan kurator dengan tukang batu. Padahal, dua pekerjaan ini memiliki tanggung jawab yang berbeda. Tanggung jawab seorang kurator tidak akan berhenti hingga pekerjaannya selesai, bahkan seperti notaris, berlangsung seumur hidup.

Berdasarkan Pasal 72 UU Kepailitan, kurator bertanggung jawab secara pribadi apabila ada kelalaian atau kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. Artinya, tugasnya sebagai kurator dapat menguras habis harta kekayaannya. Untuk itu, Hadi melihat bayaran yang besar untuk para kurator setimpal dengan risiko yang diemban para kurator.

“Kalau jam-jam itu sama dengan tukang batu. Kesalahan fatal menyamakan kurator dengan tukang batu. Bayaran yang besar itu bukan karena jam kerja, tapi tanggung jawabnya. Itu yang tidak dibaca sama Menteri,” ujarnya ketika dihubungi hukumonline, Senin (20/1).

Hakim Kasus Telkomsel
Permenkumham Tahun 2013 bukan hanya kontroversial dari segi substansi, tetapi juga telah memakan ‘korban’, yakni para hakim yang menangani kasus kepailitan Telkomsel. Kala itu, para hakim beserta hakim pengawas dalam kasus Telkomsel menetapkan fee kurator berdasarkan aturan lama, lalu mereka dianggap melanggar aturan. Mereka ‘dibuang’ dari Jakarta. Empat hakim ini dikenakan sanksi disiplin berupa pembebasan jabatan sebagai hakim niaga.

Hukuman yang dijatuhkan Mahkamah terhadap empat anggotanya menjadi sorotan Hadi Subhan pula. Menurutnya, apa yang telah dilakukan Mahkamah adalah bentuk teror independensi hakim. Hakim harus terlepas dari bayang-bayang ancaman sanksi saat memutuskan suatu perkara.

“Apa yang terjadi terhadap empat hakim tersebut adalah hal yang luar biasa. Hal itu merupakan pengekangan independensi hakim,” ujar Hadi ketika dihubungi hukumonline, Senin (20/1).

Hadi memang tak menampik jika dalam putusan tersebut ada unsur kesalahan yang dilakukan empat hakim tersebut. Menurut kacamata Hadi, mereka telah melupakan asas keadilan dan kepatutan saat memutus pailit Telkomsel dan penetapan fee kurator. Namun, Hadi tetap tak dapat membenarkan tindakan Mahkamah yang menjatuhkan sanksi mutasi dan pencopotan jabatan sebagai hakim niaga tersebut.

Hadi mengajak untuk melihat ke beberapa kasus kepailitan serupa yang pernah terjadi. Perusahaan raksasa di Indonesia seperti Asuransi Manulife, Asuransi Prudential, dan PT Dirgantara Indonesia pernah dipailitkan dan juga mendapat perhatian publik. Namun, hakim pemutus pailit tak mendapat sanksi meskipun putusannya dibatalkan di tingkat kasasi.

Dosen Kepailitan Universitas Airlangga ini mengatakan hakim melakukan semacam ijtihad, yaitu upaya sungguh-sungguh dalam memutus suatu perkara. Suatu ijtihad ini walaupun salah tak boleh dihukum. Ia merujuk kepada Hukum Islam. Hukum Islam menyebutkan apabila ijtihad benar, maka diberi pahala dua. Akan tetapi, jika ijtihad salah, tetap diberi satu pahala. Pasalnya, jikapun salah, hakim telah berupaya dengan sungguh-sungguh serta terdapat mekanisme koreksi terhadap putusan yang salah. Jika dihantui perasaan takut dihukum, hakim cenderung bersikap pasif dalam memutus.

Lebih lagi, Mahkamah Agung dinilai tidak konsisten dalam menegakkan aturan. Soalnya, Mahkamah Agung pernah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap beberapa pasal yang mengandung sanksi pidana terhadap Hakim dalam UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Uji materi ini dikabulkan MK karena tak ingin hakim menjadi takut saat memutus perkara.

“Itu kan nggak konsisten, MA saja menganggap sanksi itu teror. Nah, mereka sendiri meneror anak buahnya,” tegasnya.

Kendati demikian, Hadi tak menutup mata. Ia juga sepakat ada sanksi terhadap hakim yang salah dalam memutus perkara. Namun, hukuman tersebut bukanlah hukuman terhadap pribadi hakim, melainkan pembatalan terhadap putusan hakim itu. Sanksi mencopot jabatan dan memutasi hakim baru dapat diberikan apabila ada kesalahan materi yang dilakukan hakim dengan sengaja, seperti suap, gratifikasi, dan korupsi.

“Saya sepakat kalau hakim salah dihukum. Tapi, bukan fisiknya hakim yang dihukum, tapi putusannya yang dibatalin. Apalagi dicopot dari hakim niaga. Untuk itu, secara moral hakim tersebut perlu direhabilitasi,” ujarnya lagi. 

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur belum dapat menanggapi tentang nasib hakim Telkomsel ini. Soalnya, Ridwan belum mendapatkan informasi apapun dari Badan Pengawas MA tentang nasib para hakim ini.

Nggak bisa saya bicara tentang ini. Saya tidak punya kewenangan untuk membicarakan itu dan tidak bisa berandai-andai. Kita lihat aja nanti. Putusan terhadap fee kurator ini saja belum turun. Tak ada yang saya tutup-tutupi,” tegas Ridwan ketika ditemui hukumonline di kantornya, Jumat (17/1).

Namun, Ridwan menjelaskan ada beberapa sanksi yang dapat dikenakan terhadap hakim, salah satunya adalah unprofessional conduct. Apabila ada hakim yang melakukan pelanggaran terkait dengan keprofesionalismenya sebagai hakim, hakim tersebut dapat dimutasi. Apabila pelanggarannya berat, ancaman rekomendasinya dapat berupa pemberhentian. Dalam proses pengenaan sanksi ini, Mahkamah Agung akan menggelar MKH sebagai wadah untuk pembelaan seorang hakim terlapor.

“Misalnya perkara niaga tapi tidak ada unsur terima duit, tapi putusannya tidak profesional dia disuruh belajar lagi, ditaruh di pengadilan tinggi, di tempat tidak banyak perkara, disuruh sekolah lagi,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait