UU Tak Menyebut Eksplisit Larangan Pemurnian Ore
Berita

UU Tak Menyebut Eksplisit Larangan Pemurnian Ore

Tidak ada satu pasal atau ayat yang melarang ekspor mineral dan batubara.

ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli memberikan keterangan di sidang MK dalam pengujian UU Minerba. Foto. RES
Ahli memberikan keterangan di sidang MK dalam pengujian UU Minerba. Foto. RES
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof Saldi Isra meminta Mahkamah Konstitusi (MK) meluruskan tafsir Pasal 102 dan Pasal 103 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Sebab, selama ini pemerintah menafsirkan kedua pasal itu sebagai larangan ekspor biji ore. Padahal isinya hanya mengatur peningkatan nilai tambah dan pemurnian hasil tambang.

“Sudah selayaknya Mahkamah memberi tafsir sesuai politik hukum lahirnya UU Minerba. Ketentuan itu tidak dapat diartikan sebagai larangan menjual biji mineral ke luar negeri, tetapi hanya kewajiban untuk mengolah dan pemurnian di dalam negeri,” kata Saldi saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Minerba yang dimohonkan sejumlahperusahaan pertambangandi Gedung MK, Rabu (16/4).

Saldi mengatakan kewajiban pengolahan dan pemurnian hasi tambang dalam negeri seperti diatur Pasal 103 UU Minerba harus ditafsirkan dan diimplementasikan secara proporsional. Jika tidak, sangat mungkin menyebabkan bangkrutnya pemegang IUP berskala kecil dan menengah nasional. Sangat mungkin pula mereka dibebani kewajiban menyediakan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) sendiri atau wajib memurnikan hasil penambangannya menggunakan fasilitas IUP dan IUPK lainnya.

Menurut Saldi, pilihan menyediakan fasilitas smelter sendiri berimplikasi keharusan menyediakan dana besar. Pilihan ini sulit diambil pelaku usaha tambang nasional berskala kecil dan menengah. “Ini membuka ruang terjadinya monopoli oleh pemegang IUP atau Kontrak Karya bermodal besar yang bagi mereka, penyediaan smelter tidaklah terlalu sulit,” kata pakar hukum tata negara itu.

Terlebih, kata dia, mayoritas perusahan-perusahan pertambangan bermodal besar milik asing, yang pada dasarnya mampu membangun  fasilitas pengelolaan dan pemurnian. Sementara pemerintah dalam waktu singkat juga membebani setiap pemegang IUP (termasuk skala kecil dan menengah) memurnikan hasil penambangan di dalam negeri. Maka yang amat mungkin terjadi, semua hasil penambangan hanya dapat dilakukan perusahaan-perusahan asing.

Karena itu, pemegang Kontrak Karya wajib memenuhi kewajiban menyediakan fasilitas smelter dalam jangka waktu lima tahun sejak UU Minerba disahkan. Sedangkan pemegang IUP lainnya, khususnya perusahaan pertambangan yang masih berkembang, harus diberi waktu yang cukup untuk membangun fasilitas pemurnian baik sendiri-sendiri maupun konsorsium.

Selain itu, menurut Saldi, kebijakan proporsional terkait penafsiran Pasal 102 dan 103 UU Minerba sangat dituntut mengatur lebih lanjut bahwa pemegang IUP berskala kecil dan menengah yang berorientasi ekspor. Atas dasar UU Minerba tidak melarang ekpor biji mineral, pemerintah seyogyanya memberi ruang bagi pemegang IUP skala kecil dan menengah secara proporsional pula.

Saldi melanjutkan, yang harus diterapkan kebijakan pengendalian ekspor, bukan pelarangan ekspor. Langkah itu juga diiring dengan stimulus dan intervensi pemerintah membangun fasilitas smelter. “Setidaknya, langkah intervensi ini dapat melindungi dan membantu perusahaan tambang nasional untuk meningkatkan nilai tambah hasil pertambangannya,” para ahli yang sengaja dihadirkan pihak pemohon ini.

Karena itu, perlakuan berbeda antara pemegang Kontrak Karya dengan pemegang IUP (terutama perusahan nasional) harus diambil. Jangan sampai pemerintah memperlakukan orang/pelaku usaha tambang yang beda level secara sama. Sebab, hal itu akan menjadi ladang berseminya ketidakadilan dalam dunia pertambangan.

“Memperlakukan pemegang IUP dan kontrak karya secara sama justru semakin memperkuat peran asing dalam pengelolaan dan pemurnian hasil penambangan mineral. Dengan semangat itulah kiranya, keseimbangan kepentingan pengelolaan aset-aset nasional untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan kepentingan membina berbagai usaha nasional yang dikendalikan anak-anak bangsa dapat dijaga.”

Tidak melarang
Ahli pemohon lainnya, Simon F Sembiring berpendapat tidak ada satu pasal atau ayat pun dalam UU Minerba yang melarang ekspor mineral dan batubara. Jadi, menurutnya Pasal 102 dan Pasal 103 seharusnya tidak dikaitkan dengan ‘larangan ekspor’, tetapi harus dijabarkan secara rinci dalam PP mengenai tahapan, kondisi, jumlah/kapasitas unit pengolahan dan pemurnian yang memadai bagi komoditi mineral logam dengan mempertimbangkan konservasi, besaran cadangan dan potensinya.

“Apabila bermaksud mengendalikan produksi dan ekspor seharusnya menggunakan Pasal 5 UU Minerba, dan Pasal 84 dan Pasal 85 PP No. 23 Tahun 2010, tidak ada relevansinya dengan Pasal 102 dan 103 UU Minerba yang mewajibkan pengolahan dan pemurnian,” kata mantan Dirjen Minerba Kementerian ESDM ini.

Menurut dia, bagi IUP dan IUPK yang tidak melakukan kewajibannya seharusnya dikenakan “Sanksi Administratif” sesuai Pasal 151 UU Minerba. Dengan demikian pelaksanaan UU ini konsisten dan tidak menyimpang dari asas partisipatif, transparansi, dan akuntabilitas dan tujuannya. Antara lain menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) dan sembilan perusahaan tambang memohon pengujian Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba. Mereka menilai implementasi kedua pasal itu ditafsirkan pemerintah sebagai larangan ekspor bijih ore (bauksit) sejak terbitnya Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 tanggal 12 Januari 2014 yang mengakibatkan perusahaan rugi/bangkrut, melakukan PHK, dan efisiensi kegiatan usaha.

Sebelumnya, pihak terkait dari Tim Advokasi Rakyat untuk Kedaulatan Tambang yang terdiri dari IHCS, KIARA, FITRA, P3M menilai kedua pasal itu sudah jelas dan tegas mengatur nilai tambah dengan cara pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri. Dengan sendirinya ekspor bijih dilarang sebelum dilakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sehingga, dalil para pemohon sudah sepatutnya dinyatakan tak beralasan hukum.

Pemaknaan kedua pasal itu yang melarang ekspor biji ore bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Padahal, kedua pasal itu jelas hanya mengatur peningkatan nilai tambah dan pemurnian hasil tambang, bukan larangan ekspor biji ore. Bagi pemerintah, kalau penafsiran kedua pasal itu dimaknai sebagai larangan ekspor biji ore, saat ini aturan tersebut tidak bisa dilaksanakan. Sebab, kondisi saat ini tak banyak perusahaan tambang yang bisa melakukan pemurnian di dalam negeri, khususnya produk bauksit.

Misalnya, proses pemurnian oleh PT Antam saja tahun ini hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri karena butuh biaya besar. Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan kedua pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bila dimaknai adanya larangan terhadap ekspor biji ore.
Tags:

Berita Terkait