Lima Kasus Maskapai Penerbangan yang Dibawa ke Pengadilan
Liputan Khusus Penerbangan:

Lima Kasus Maskapai Penerbangan yang Dibawa ke Pengadilan

Dari pesawat delay hingga barang bawaan hilang di bagasi pesawat.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Suasana bandara. Foto: SGP (Ilustrasi)
Suasana bandara. Foto: SGP (Ilustrasi)
Hubungan antara penumpang dengan maskapai penerbangan tentunya dilandaskan pula pada hak dan kewajiban. Salah satu kewajiban penumpang ialah membayar tiket pesawat. Setelah itu baru muncul hak-hak penumpang yang wajib dipenuhi maskapai. Sayangnya, tak jarang perusahaan penerbangan justru melalaikan kewajibannya.

Seringkali, kita dengar omongan dari mulut ke mulut hingga keluhan penumpang di rubrik surat pembaca media massa. Namun, langkah penumpang tak hanya “menggerutu”, tetapi bagi yang mengerti hukum, ada juga yang melayangkan gugatan ke pengadilan. 

Hukumonline berhasil menghimpun lima perkara penumpang versus maskapai yang telah diputus oleh hakim. Berikut lima putusan perkara tersebut:

1.    Pesawat Delay, Penumpang Harus Terima?
Hampir delapan tahun silam, salah seorang penumpang maskapai penerbangan Wings Air, anak perusahaan PT Lion Mentari Airlines (Lion Air), David Tobing, berjuang menuntut ganti rugi karena penundaan jadwal yang dialaminya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara No. 309/PDT.G/2007/PN.Jkt.Pst.

David yang berprofesi sebagai advokat dan kerap menangani kasus-kasus perlindungan konsumen, pada 16 Agustus 2007 hendak melakukan perjalanan ke Surabaya untuk menghadiri persidangan menggunakan Wings Air IW 8985 keberangkatan pukul 08.35 WIB. Setelah sejam menunggu, David diberitahu petugas bahwa keberangkatan pesawatnya akan terlambat selama 90 menit karena pesawat masih berada di Yogyakarta.

Namun, pegawai kantor tidak dapat memastikan jadwal tersebut. Ia hanya meminta maaf dan mengatakan kepada David bahwa keterlambatan adalah hal lumrah dan harus diterima semua penumpang. Merasa tidak dilayani dengan baik, David langsung mencari penerbangan lain menuju Surabaya.

Dalam persidangannya melawan perusahaan penyedia jasa penerbangan yang berlogokan singa dengan warna merah ini, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memenangkan David. “Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” sebut hakim dalam putusannya.

Hakim menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp718,500 dan biaya perkara Rp234,000. Hakim juga menyatakan klausula baku mengenai pengalihan tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan, batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2.    Bawaan Hilang dari Bagasi Pesawat
Kasus ini merupakan kasus barang bawaan penumpang yang hilang di bagasi pesawat. Awalnya, kasus ini diselesaikan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menghukum PT Lion Menteri Airlines (Lion Air) untuk membayar ganti rugi atas hilangnya koper seberat 12 kilogram milik salah seorang penumpang, Herlina Sunarti dalam penerbangan rute Jakarta – Semarang pada 4 Agustus 2011.

Berdasarkan putusan BPSK No. 12/BPSK/Smg/Put/Arbitrase/X/2011, Lion Air harus membayar ganti rugi sejumlah Rp25 juta.

Namun, Lion Air enggan membayar ganti rugi senilai jumlah tersebut. Lion Air mendalilkan kepada UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Bila merujuk ke ketentuan tersebut, Lion Air hanya mengganti kerugian dengan nilai barang per kilogram sebesar Rp100,000 (seratus ribu rupiah), sehingga total yang dibayarkan kepada Herlina sebesar Rp1.200.000,00. Sebelumnya, BPSK hanya mendasarkan kepada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Majelis Hakim PN Semarang memutus untuk menolak permohonan Lion Air. Begitu pula upaya kasasi yang diajukan oleh Lion Air dalam perkara No. 605 K/Pdt.Sus-BPSK/2012 ditolak oleh hakim.

3.    Kecelakaan Pesawat Sebab Pilot Lalai
Kelalaian pilot Singapore Airlines yang melaju di landasan pacu yang sedang dalam perbaikan membuat perusahaan penerbangan milik negara tetangga itu harus menanggung ganti kerugian yang besar di samping asuransi yang wajib menjadi tanggung jawab atas kecelakaan.

Sigit Suciptoyono merupakan salah satu penumpang yang selamat dari kecelakaan penerbangan rute Singapura – Los Angeles ini. Meski begitu, cacat akibat kecelakaan harus dipikul Sigit seumur hidup. Kecelakaan terjadi saat pesawat No. SQ-006 ini hendak lepas landas di Bandara Chiang Kai Sek (CKS), Taipei, Taiwan, menuju Los Angeles, Amerika. Pada malam 31 Oktober 2000, dalam kondisi hujan, pilot Singapore Airlines menerbangkan pesawat menggunakan landasan pacu yang ditutup. Akibat salah menggunakan landasan pacu tersebut, pesawat terjerembab, terbakar dan terpotong menjadi tiga bagian sehingga menyebabkan 82 orang, termasuk 4 orang awak pesawatmeninggal dunia.

Majelis Hakim PN Jakarta Selatan, melalui Putusan No. 908/PDT.G/2007/PN.Jak.Sel menghukum Singapore Airlines membayar ganti kerugian kepada Sigit sebesar Rp1 miliar. Putusan PN dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Dalam putusan banding, Singapore Airlines harus bayar ganti rugi Rp1.5 miliar. Tak puas dengan putusan tersebut, Singapore Airlines mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, hal ini juga diikuti oleh Sigit.

Setelah mempertimbangkan memori kasasi dari kedua belah pihak, dalam putusan No. 1517K/Pdt/2009, majelis hakim agung yang memeriksa dan mengadili persidangan ini menolak seluruh permohonan kasasi.

4.    Pesawat Tak Sesuai Tiket
Perlu diperhatikan oleh penumpang pesawat, tiket bukanlah sekadar alat check in. Tiket pesawat merupakan bentuk perjanjian yang mengikat antara penumpang dengan maskapai penerbangan yang dipilihnya. Pesawat dan jadwal keberangkatan yang dipilih merupakan bagian prestasi yang harus dipenuhi oleh maskapai. Namun, cerita berbeda dialami oleh Mauliate Sitompul.

Cerita ini bermula ketika Mauliate membeli tiket perjalanan Denpasar – Lombok - Denpasar dengan menggunakan pesawat Lion Air. Saat check in tidak ada pemberitahuan apa pun mengenai pesawat yang akan ditumpanginya. Hingga setelah menunggu cukup lama Mauliate bertanya kepada petugas soal waktu keberangkatan pesawat dengan nomor penerbangan JT 1852. Jawaban yang diterima Mauliate justru mengejutkannya. Petugas berkata bahwa tidak ada penerbangan Lion Air tujuan Lombok. Tiket pesawat tersebut berlaku untuk penerbangan Wings Air. “Pesawat Lion Air (Tergugat) dengan Wings Air satu grup usaha dan sama saja pak,” dalih petugas ketika Mauliate menuntut penjelasan.

Hal serupa terjadi kembali ketika dirinya hendak kembali ke Bali. Tiket Lion Air yang sudah dibelinya dicoret dan ditulis tangan menjadi penerbangan Pesawat Wings Air. Kadung alami cukup banyak kerugian karena Mauliate harus mengambil penerbangan lain menuju Lombok dan kesepakatan bernilai Rp500 juta tidak dapat dibuat dengan calon kliennya karena terlambat, pria yang berprofesi sebagai advokat ini menggugat Lion Air ke PN Jakarta Pusat.

Hakim PN Jakarta Pusat dalam putusan No. 441/PDT.G/2013/PN.Jkt.Pst menyatakan Lion Air bersalah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp702,300 kepada Mauliate.

5.    Perlakuan Diskriminatif Terhadap Penyandang Cacat
Pasal 134 ayat (1) UU Penerbangan memberikan hak kepada penyandang cacat, orang lanjut usia, serta anak-anak di bawah usia 12 (dua belas) tahun agar memperoleh pelayanan berupa perlakuan dan fasilitas khusus. Lalu bagaimana bila maskapai penerbangan mengabaikan hal ini?

Seorang pengguna kursi roda, Ridwan Sumantri, berkali-kali diacuhkan kebutuhannya oleh Lion Air. Ketika hendak melakukan perjalanan ke Bali dari Jakarta, Ridwan yang menggunakan jasa angkutan udara dari PT Lion Mentari Airlines ini datang lebih awal untuk memohonkan nomor kursi yang mudah diaksesnya. Sekali pun sudah diajukan dari awal dan petugas telah mengiyakan, Ridwan tetap mendapatkan kursi yang letaknya di tengah.

Tidak hanya itu, ketika hendak masuk ke kabin pesawat, penumpang pesawat yang awalnya diminta menunggu di GATE A-1 dipindahkan keberangkatannya melalui pintu keberangkatan GATE A-5. Saat itu petugas sibuk mengurusi penumpang yang dengan buru-buru menuju GATE A-5 dan tidak ada yang melayaninya. Ridwan yang saat itu berangkat dengan satu rekannya terpaksa menyusul yang lain. Namun jalur yang harus ditempuhnya tidak menyediakan lift dan saat itu hanya ada satu petugas yang berjaga dan membantunya menuruni tangga.

Tidak hanya itu, setibanya di kursi penumpang dengan cara digendong oleh petugas Lion Air dan disaksikan banyak mata, Ridwan kembali mendapat sorotan sebab ia berdebat dengan pramugari yang menyodorkannya formulir persetujuan penghilangan tanggung jawab Lion Air atas kemungkinan yang terjadi selama penerbangan pada orang sakit. Ridwan yang awalnya tidak bersedia menandatangani formulir karena dia bukan orang sakit, akhirnya menyetujui hal tersebut dibandingkan harus berlama-lama menjadi pusat perhatian penumpang lain.

Atas diskriminasi yang terjadi pada Ridwan, Hakim menghukum Lion Air membayar ganti rugi sebesar Rp25 juta (tanggung renteng dengan PT (Persero) Angkasa Pura II sebagai Tergugat II dan Kementerian Perhubungan Republik Indonesia sebagai Tergugat III). Putusan ini dikuatkan oleh putusan banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 61/PDT/2014/PT.DKI. PT DKI menaikkan nilai ganti rugi menjadi Rp50 juta.
Tags:

Berita Terkait