Tiga Isu Konstitusional Perbankan Ini Layak Jadi Perhatian
Utama

Tiga Isu Konstitusional Perbankan Ini Layak Jadi Perhatian

Kepentingan hukum nasabah seringkali terabaikan atau sengaja diabaikan dengan cara berlindung di balik kerahasiaan bank. Tiga isu ini layak diperhatikan.

Oleh:
FITRI N. HERIANI
Bacaan 2 Menit
Penyerahan putusan MK kepada kuasa hukum seorang pemohon JR UU Perbankan. Foto: Humas MK
Penyerahan putusan MK kepada kuasa hukum seorang pemohon JR UU Perbankan. Foto: Humas MK
Pembentuk undang-undang kini sedang menyusun dan membahas revisi UU Perbankan. Revisi ini menjadi salah satu Program Legislasi Nasional. Ikatan Bankir Indonesia pun sudah dimintai masukan oleh Komisi XI DPR. Ada banyak masukan yang disampaikan para pemangku kepentingan.

Namun ada tiga isu konstitusional penting yang layak jadi perhatian pembentuk undang-undang. Isu pertama keberlakuan peraturan perundang-undangan lain bagi bank. Jenis usaha bank tak bisa mengeksklusifkan diri dengan menyatakan hanya tunduk pada peraturan tentang bank. Penetapan eksekusi pengadilan, misalnya, tetap mengikat bank manapun.

Ini pula spirit yang dikukuhkan lewat putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus frasa ‘bagi bank’ dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal ini berisi ancaman pidana bagi direksi, komisaris, dan pegawai bank yang tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan UU Perbankan dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku bagi bank.

Frasa bagi bank itulah yang merugikan seorang pedagang emas di Pasar Majestik Jakarta Selatan. Pihak bank tetap tak mau mencairkan hak si pedagang meskipun sudah ada penetapan pengadilan. Bank berlindung di balik klausula Pasal 49 ayat (2) huruf b tersebut. Mahkamah Konstitusi sudah mengingatkan bahwa bank juga tunduk pada setiap peraturan perundang-undangan, termasuk penetapan pengadilan.

Menurut Mahkamah, bank harus taat pada setiap putusan pengadilan. Sebab, ketentuan yang menyatakan pengurus bank hanya tunduk pada peraturan tertentu yang berlaku hanya apda sektor perbankan merupakan bentuk pelanggaran terhadap putusan pengadilan atau bentuk pelanggaran hukum. Kemudian, satu putusan tidak ada artinya jika tidak dilaksanakan dan merupakan pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundang0-undangan yang berlaku, dan pihak lain yang terkait langsung maupun tidak langsung harus menghormati putusan pengadilan.

Ketika diminta tanggapan, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara tak banyak berkomentar. Dalam kasus ini, BI tak memiliki wewenang untuk menaggapi putusan MK tersebut. “Ini sifatnya individual bank, yang bisa menanggapi OJK sebagai pengawas, menajemen risiko. Kalau BI hanya mengawasi industri saja, perbankan itu industri stabil apa tidak, NPL berapa. Kalau kasus begini memang OJK yang bisa menjawab,” jelasnya kepada hukumonline di Gedung BI Jakarta, Jumat (19/6).

Namun jika nanti BI diminta untuk memberikan pandangan terhadap RUU Perbankan terkait putusan ini, maka pihaknya dipastikan akan memberikan pendapat. “Kami akan penuhi sebagai narasumber.”

Isu kedua adalah simpanan seseorang yang berkaitan dengan harta bersama. Bank tak boleh lagi berlindung di balik benteng kerahasiaan jika patut diduga simpanan seorang nasabah berkaitan dengan harta bersama. Jika ada gugatan dari seorang isteri atas rekening seorang suaminya di bank, misalnya, pihak bank tak bisa seenaknya menolak membuka data nasabah.

Spirit ini juga pernah dicetuskan Mahkamah Konstitusi saat mengabulkan permohonan seorang isteri yang menuntut hak atas harta gono-gini dari rekening suaminya. Sang isteri meminta data rekening suaminya ke bank untuk memastikan besaran harta gono-gini yang akan dibagi. Mahkamah akhirnya memberi warning agar kerahasiaan data nasabah tak dilakukan secara membabi buta. Dalam rangka penegakan hukum, data nasabah bisa dibuka.

Jika dua isu pertama sudah diperjuangkan lewat Mahkamah Konstitusi, lain lagi isu ketiga. Masih menyangkut kerahasiaan bank, sudah berkali-kali Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyuarakan pentingnya membuka akses perbankan demi kepentingan perpajakan.

Ditjen Pajak sudah mengkomunikasikan isu ini kepada para anggota Dewan, sehingga peluang untuk dimasukkan ke dalam revisi UU Perbankan lebih terbuka.

UU Ketentuan Umum Perpajakan memang sudah memberikan kewenangan kepada DJP untuk mengakses data nasabah. Namun kewenangan tersebut masih sebatas kepentingan penyidikan pidana perpajakan. Harapan DJP, akses terhadap data nasabah juga diberikan untuk kepentingan penggalian potensi pajak.

Dalam UU Perbankan yang berlaku saat ini, setiap bank memiliki kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Kewajiban itu tidak berlaku jika demi kepentingan pemeriksaan, penagihan atau penyidikan. Gara-gara rambu bernama rahasia bank, DJP diduga tak maksimal memanfaatkan data nasabah di perbankan.

Jika data nasabah perbankan dapat dibuka demi kepentingan pengawasan dan penggalian potensi pajak, berarti data perbankan dimanfaatkan tidak hanya sebatas kepentingan pemeriksaan, penagihan dan penyidikan. Tetapi juga untuk keseluruhan tahapan penggalian potensi pajak mulai dari himbauan, konseling, penelitian dan sebagainya.

Meski adanya alasan penggalian potensi pajak, tetap saja permintaan tersebut tidak serta merta disetujui oleh DPR. Ada kekhawatiran moral hazard jika akses data nasabah dibuka  untuk kepentingan perpajakan. Bukan tak mungkin ada pihak-pihak yang memanfaatkan hal tersebut untuk kepentingan pribadi sehingga merugikan nasabah.
Tags:

Berita Terkait