UU Penjaminan Dipercaya Dorong Pertumbuhan Pelaku UKM
Berita

UU Penjaminan Dipercaya Dorong Pertumbuhan Pelaku UKM

Dengan adanya UU tersebut, maka para pelaku UKM akan lebih mudah mengakses kredit dari sektor perbankan.

RED/ANT
Bacaan 2 Menit
Kementerian Koperasi dan UKM. Foto: SGP
Kementerian Koperasi dan UKM. Foto: SGP

[Versi Bahasa Inggris]

Keberadaan UU Penjaminan dipercaya dapat mendorong pertumbuhan pelaku usaha kecil menengah (UKM). Menteri Koperasi dan UKM, AAGN Puspayoga mengatakan, dengan adanya UU tersebut, maka para pelaku UKM akan lebih mudah mengakses kredit dari sektor perbankan.

"UU penjaminan ini sangat strategis untuk menjangkau pembiayaan bagi koperasi dan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah)," kata Puspayoga melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (29/6).

DPR telah mengadakan sidang paripurna guna menyetujui RUU Penjaminan menjadi usul inisiatif DPR, Kamis (25/6). Pada saat yang sama, DPR juga menyetujui RUU Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) sebagai inisiatif dewan. Atas dasar itu, pembahasan RUU Penjaminan dan RUU Tapera tinggal dilakukan DPR dan pemerintah.

Menurut Puspayoga, persetujuan tersebut menjadi landasan atau payung hukum bagi pelaku UKM untuk mengakses permodalan. Selama ini, ia mengatakan, belum banyak UMKM yang mengenal istilah penjaminan dapat berpotensi meningkatkan produktivitas usaha dan memiliki prospektif bisnis koperasi.

Bukan hanya itu, banyak koperasi dan UMKM yang sulit mengakses permodalan lantaran terkendala masalah agunan. "Dengan adanya UU Penjaminan semua itu bisa diatasi, biasanya ini terkait persyaratan kredit yang ruwet atau rumit," kata Puspayoga.

Saat ini, lanjut Puspayoga, terdappat 58 juta UMKM di Indonesia dengan memberikan kontribusi sebesar 59,8 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Bahkan, dari sisi penyerapan tenaga kerja, sektor UMKM dapat mampu menyerap 97,16 persen tenaga kerja di Indonesia.

Tapi sayangnya, potensi yang besar itu tak dibarengi dengan keberpihakan kredit perbankan terhadap UMKM. Dari catatan yang ada, kredit perbankan terhadap UMKM hanya mencapai 39,28 persen atau 22,15 juta unit usaha yang bisa memanfaatkan akses perbankan.

Sementara itu, Deputi Menteri Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha Kementerian Koperasi dan UKM, Braman Setyo menambahkan, perlu institusi perusahaan penjamin yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (Asippindo) dalam melindungi pelaku UMKM memanfaatkan akses perbankan. Setidaknya, terdapat 20 perusahaan yang tergabung dalam Asippindo.

Para anggota Asiipindo tersebut antara lain, Perusahaan Umum (Perum) Jamkrindo, 16 Perusahaan Penjaminan Daerah (Jamkrida Jatim, Jabar, Riau, Bali, Mandara, Sumsel, Sumbar, NTB, NTT, Kalsel, Bangka Belitung, Kaltim, Kalteng, Papua, Banten, Jateng dan DKI Jakarta), PT PKPI, PT AF Jaminan Kredit, serta PT Jam Syar.

Setyo berharap UU Penjamin dan penurunan suku bungan Kredit Usaha Rakyat (KUR) menjadi 12 persen memberikan dampak positif bagi pelaku UMKM. “Selain itu juga meningkatkan debitur mikro dan secara umum pertumbuhan ekonomi akan meningkat sekaligus pemerataan pendapatan akan terjadi,” katanya.

Sebelumnya, RUU yang diperuntukan bagi UMKM ini dinilai masih banyak kelemahan. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat ekonomi, Ichsanurdin Noorsy. Menurutnya, berdasarkan draf RUU Penjaminan yang ia miliki, setidaknya ada beberapa kelemahan. Secara yuridis dan sosiologi, RUU Penjaminan dinilai masyarakat kecil bakal dilindungi melalui regulasi tersebut. Hal itu merujuk pada Pasal 33 ayat (1) UUD 1945. Dengan RUU Penjaminan diharapkan dapat meningkatkan akses pembiayaan bagi UMKM. “Tetapi ini hanya menyelesaikan sebagian kecil masalah,” ujarnya.

Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Indonesia dinilai tidak memiliki kemampuan apapun dibanding dengan negara lain. Sebaliknya, dengan MEA justru akan mengorbankan UMKM yang digeluti masyarakat kecil. Berbeda dengan negara Cina dan Jepang misalnya, UMKM kedua negara itu sudah terintegrasi dengan industri. Padahal RUU Penjaminan diharapkan mampu melindungi UMKM dalam menghadapi MEA.

Dalam rujukan perundangan yang dijadikan acuan bagi RUU Penjaminan antara lain mencantumkan UU Perkoperasian. Padahal, UU Perkoperasian telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Sehingga UU Perkoperasian lama yang digunakan dimungkinkan dapat ditabrak kembali di MK. “Jadi secara yuridis dan sosiologis tidak mengena dalam RUU ini,” ujarnya.

Hal lainnya, kata Noorsy, masih terdapat beberapa pasal yang tidak jelas. Misalnya, tidak memperjelas kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memberikan pengawasan terhadap lembaga penjaminan. Atas dasar itulah Noorsy berpendapat masih adanya celah pihak asing untuk cawe-cawe dengan OJK.

“RUU ini harus diubah, sudahlah secara makro liberal sudah mengakar, yang begini-begini jangan dikasih asing. Kesalahan besar ini tidak melihat modal sosial dari UMKM. RUU ini mengandalkan sepenuhnya finansial modal capital,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait