Rehabilitasi Psikososial Mustahil Dijalankan LPSK Sendirian
Berita

Rehabilitasi Psikososial Mustahil Dijalankan LPSK Sendirian

Rehabilitasi psikososial diperkenalkan dalam UU No. 31 Tahun 2014.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Rehabilitasi Psikososial Mustahil Dijalankan LPSK Sendirian
Hukumonline
Ada yang baru dalam UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Wet ini memperkenalkan jenis rehabilitasi baru yang bisa diperoleh saksi atau korban, yaitu rehabilitasi psikososial.

Begitulah yang disebut Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Abdul Haris Semendawai. “Rehabilitasi psikososial merupakan satu perkembangan baru dalam pemberian bantuan bagi korban. Itu sebagaimana dengan Penjelasan pasal 6 ayat (1) huruf b UU No.31 Tahun 2014,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Selasa (15/9).

Rehabilitasi psikososial adalah semua bentuk pelayanan dan bantuan psikologis serta sosial yang ditujukan untuk membantu meringankan, melindungi dan memulihkan kondisi fisik, psikologis, sosial dan spiritual korban sehingga mampu menjalankan fungsi sosialnya kembali secara wajar.

Namun, Haris mengakui terus terang, rehabilitasi psikososial tidak mungkin dilaksanakan LPSK sendirian. Program ini harus dijalankan melalui kerjasama dengan pihak-pihak terkait. LPSK bertugas memfasilitasi agar pemenuhan hak-hak korban dilakukan oleh pemerintah lewat kementerian dan lembaga terkait. Karena itu, tanpa koordinasi, mustahil rehabilitasi dilakukan dengan baik.

Wakil Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo, mengatakan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) salah satu lembaga yang perlu berkoordinasi. Kementerian itu mengkoordinasi berbagai kementerian dan lembaga negara terkait dengan bidang-bidang kesejahteraan sosial, pembangunan manusia dan kebudayaan. Itu bersinggungan dengan tugas LPSK memberi perlindungan terhadap saksi dan korban. “Dengan koordinasi yang baik kami berharap mendapat dukungan yang memadai di lapangan,” ujarnya.

Salah satu kementerian yang sudah bekerjasama dengan LPSK yakni Kementerian Sosial. Kedua lembaga sudah membuat nota kesepahaman. Kemensos memberi bantuan kepada korban dalam bentuk pemberian alat-alat medis seperti kursi roda, kaki palsu dan alat bantu dengar. Tidak menutup kemungkinan kedepan korban akan mendapat Kartu Indonesia Sehat (KIS). Dengan organisasi psikolog juga sudah dilakukan kerjasama.

LPSK juga mendorong keterlibatan pemerintah daerah. Hasto menjelaskan pemerintah daerah layak untuk memperhatikan secara serius kepada korban. Ia melihat itu sudah dipraktikkan oleh beberapa pemerintah daerah seperti Kota Palu, menggulirkan program pengadaan rumah, bantuan kesehatan dan pendidikan untuk korban pelanggaran HAM berat.

“Pemerintah Palu sudah mengalokasikan APBD nya untuk membantu korban pelanggaran HAM berat. Upaya seperti itu yang kita dorong agar diterapkan oleh pemerintah daerah lainnya,” tukas Hasto.

Sekretaris Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Sugihartatmo, menegaskan Kemenko PMK berkomitmen untuk mengkoordinasikan kementerian dan lembaga terkait yang memberikan pelayanan kepada masyarakat. Seperti di bidang kesehatan, sosial, pendidikan, keagamaan dan pemberdayaan perempuan.

Dalam rangka perlindungan untuk saksi dan korban, sebagaimana tupoksi LPSK, Sugihartatmo mengatakan implementasinya membutuhkan pembiayaan. Sebagai upaya memenuhi hak-hak masyarakat, maka hal tersebut akan dilaksanakan lewat program-program pelayanan masyarakat yang sudah dibentuk di masing-masing kementerian dan lembaga negara terkait.

“Kemenko PMK punya fungsi koordinasi, kita perlu membangun proses konsultasi dan komunikasi untuk memaparkan apa yang dibutuhkan. Setelah itu kementerian/lembaga terkait bisa mengalokasikan anggaran sebagaimana pelayanan yang dibutuhkan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait