Dosen UGM Wacanakan Lembaga Baru Penerbit SIM-STNK
Utama

Dosen UGM Wacanakan Lembaga Baru Penerbit SIM-STNK

Wakakorlantas Mabes Polri justru mempertanyakan kapasitas dosen UGM tersebut bicara tentang penerbitan SIM.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Anggota DPR, John K. Azis, saat menyampaikan pandangan DPR mengenai pengujian UU Polri dan UU Lalu Lintas pada 7 September lalu. Foto: HUMAS MK
Anggota DPR, John K. Azis, saat menyampaikan pandangan DPR mengenai pengujian UU Polri dan UU Lalu Lintas pada 7 September lalu. Foto: HUMAS MK
Apakah kewenangan menerbitkan dokumen-dokumen lalu lintas seperti SIM dan STNK tetap dipertahankan di kepolisian? Pertanyaan inilah yang menjadi kunci perdebatan dalam sidang-sidang pengujian  UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) di Mahkamah Konstitusi.

Dalam sidang terakhir yang berlangsung Kamis (01/10), Mahkamah mendengar keterangan Rimawan Pradipto sebagai ahli. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (FE UGM) Yogyakarta ini berpendapat perlu ada pemisahan fungsi administrasi penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan Surat Tanda Naik Kendaraan Bermotor (STNK) dengan fungsi penegakan hukum yang selama ini diemban Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Menurut dia, Polri bisa lebih fokus pada tugas dan fungsi penegakan hukum yang semakin kompleks. Jika ingin lebih fokus pada penegakan hukum, Rimawan menyarankan penerbitan SIM dan STNK dialihkan ke lembaga khusus yang dibentuk. “Dengan begitu, perlu pengalihan fungsi ini ke lembaga lain yang bertugas menerbitkan SIM dan STNK, ini agar Polri lebih fokus pada tugas penegakan hukum,” ujarnya di depan para hakim MK.

Sebelumnya, Pemerintah menyebut kebijakan pemberian kewenangan penerbitan SIM-STNK kepada Polri adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Tetapi ada anggota DPR yang sudah mengkhawatirkan Mahkamah mencabut kewenangan itu dari Polri.

Rimawan melanjutkan bisa saja lembaga ini sebagai lembaga baru yang khusus bertugas menerbitkan SIM-STNK. Seperti hal saat ini ada lembaga yang namanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). “Dulu kita belum mengenal OJK dan KPPU, jadi bisa saja lembaga lain yang mengurus penerbitan SIM-STNK sebuah lembaga baru,” usul dia.

Menurutnya, pengalihan fungsi penerbitan SIM-STNK ini dari Polri ke lembaga baru tersebut agar Polri bisa lebih fokus pada tugas dan fungsi penegakan hukum karena berbagai modus kejahatan dari hari ke hari semakin kompleks. “Karena kompleksitas penanganan tindak pidana inilah dibutuhkan pembagian tugas pekerjaan antara Polri dan lembaga lain. Mungkin Polri lebih fokus pada penegakan hukum,” tegasnya.

Sebagai perbandingan di Inggris, wewenang pengurusan dan penerbitan SIM ditangani oleh Departemen Transportasi yang masa berlakunya SIM itu seumur hidup. Sementara tugas kepolisian di Inggris, Amerika, dan Australia lebih banyak fokus pada tugas penegakan hukum ketimbang menjalankan fungsi administrasi.

“Jadi, sebenarnya tidak masalah apabila tugas registrasi kendaraan bermotor di luar institusi kepolisian,” kata Rimawan yang pernah beberapa tahun bekerja di Inggris ini.   

Kapasitas ahli
Namun, Wakil Kepala Korps Lalu Lintas Polri, Brigjen (Pol) Sam Budigusdian justru mempertanyakan kapasitas Rimawan bicara tentang penerbitan SIM. Sam menilai ahli yang dihadirkan pemohon ini tidak memiliki kapasitas yang relevan dengan permohonan pengujian UU Polri dan UU LLAJ ini. “Dia kan ahli ekonomi, tidak pas bicara komparasi pengurusan SIM di Inggris, Jangan jauh-jauh di Singapura saja yang mengeluarkan SIM adalah lembaga kepolisian,” dalih Sam usai persidangan.   

Mabes Polri, kata Sam, tetap optimis kewenangan menerbitkan SIM-STNK ada pada Polri sesuai tafsir Pasal 30 ayat (4) UUD 1945. “Kami tetap optimis, tataran tugas dan tanggung jawab Polri sesuai amanat Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 yang kemudian dijabarkan dalam UU Polri dan UU LLAJ,” tegasnya.     

Permohonan pengujian ini diajukan sejumlah orang dan lembaga melalui kuasa hukum. Alissa Q Munawaroh Rahman, Hari Kurniawan, Malang Corruption Watch, PP Pemuda Muhammadiyah memohon pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf b, c UU Polri dan Pasal 64 ayat (4), (6); Pasal 67 ayat (3); Pasal 68 ayat (6); Pasal 69 ayat (2), (3); Pasal 72 ayat (1), (3); Pasal 75; Pasal 85 ayat (5); Pasal 87 ayat (2); dan Pasal 88 UU LLAJ terkait kewenangan Polri menerbitkan SIM dan STNK.

Para pemohon menganggap merujuk Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 tugas menerbitkan SIM dan STNK bukanlah tugas dan fungsi Polri yang sesungguhnya. Sesuai beleid itu, Polri bertugas menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dan melindungi, mengayomi, melayani masyarakat serta menegakkan hukum. Sebab, apabila kewenangan penerbitan SIM-STNK tetap dijalankan Polri berdampak masyarakat tidak terlayani, penegakan hukum tidak optimal dan cendrung disalahgunakan (korupsi).

Menurut pemohon, pembagian tugas administrasi pemerintahan yang baik, wewenang mengeluarkan peraturan, menjalankan, dan menindak seharusnya tidak berada pada instansi yang sama. Sebab, selama ini dalam penerbitan SIM, Polri berperan mulai menjalankan, menindak, hingga menbuat peraturan secara terbatas.

Karena itu, para pemohon meminta pasal-pasal itu sepanjang frasa “Polri” dan “Peraturan Kapolri” dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang dimaknai “lembaga lain” dan “peraturan lembaga lain” karena bertentangan dengan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.
Tags:

Berita Terkait