Hak Tak Dipenuhi, Eks Karyawan Gugat Unilever Indonesia
Berita

Hak Tak Dipenuhi, Eks Karyawan Gugat Unilever Indonesia

Alasannya karena tidak diberikan program fasilitas kesehatan pasca pensiun (medical scheme).

NNP
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi gugatan PHI. Foto: NNP
Ilustrasi gugatan PHI. Foto: NNP
Niat pensiun lebih awal salah seorang mantan karyawan PT Unilever Indonesia Tbk berujung ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Gugatan ini diajukan oleh eks management staff kepada bekas perusahaannya itu lantaran haknya selaku karyawan yang mengajukan pensiun dini tidak dipenuhi.

Sebagai gambaran, kasus ini diawali dari adanya permohonan pensiun dini (Request for Early Retirement) yang diajukan Revita Tantri Yanuar ke Unilever pada 5 Februari 2015. Awalnya, perusahaan menolak permohonan itu dengan alasan Revita telah bekerja cukup lama. Namun, keinginan keras Revita untuk mengakhiri hubungan kerja di perusahaan itu akhirnya dipenuhi oleh perusahaan.

Akhirnya, Unilever sepakat untuk menerima permohonan pensiun dini karyawan yang telah bekerja selama 25 tahun sejak 1 Mei 1990 tersebut. Akan tetapi, permohonan yang diajukan terkait permintaan pemberian program fasilitas kesehatan pasca pensiun (medical scheme) tidak dipenuhi oleh perusahaan.

Alasannya karena Unilever tak memberikan program medical scheme kepada karyawan yang mengajukan pensiun dini. Perusahaan menyatakan pemberian fasilitas perawatan kesehatan pasca pensiun itu hanya diberikan kepada karyawan management staff yang melalui pensiun normal.  

Dalam berkas gugatan yang diterima hukumonline, Revita menilai, sikap Unilever bertentangan dengan peraturan perusahaan. Misalnya, dalam Peraturan Perusahaan tentang Program Perawatan Kesehatan disebutkan bahwa karyawan pensiunan yang mengambil program perawatan kesehatan berhak mendapatkan perawatan kesehatan dalam masa pensiunnya.

Revita juga menyatakan bahwa dalam praktik yang berlaku umum di Unilever, medical scheme merupakan hak bagi seluruh pensiunan. Artinya, hak itu dikembalikan kepada karyawan apakah mau atau tidak mengambil haknya atau keputusan berada di tangan karyawan dan bukan perusahaan.

Padahal Revita menyatakan secara tegas memilih untuk mengikuti program medical scheme. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa menurut peraturan perusahaan tidak ada pembedaan mengenai hak pensiun untuk mendapatkan program medical scheme apakah melalui pensiun dini atau pensiun normal.

Sebelum berujung ke meja hijau, dalam mengatasi masalah ini mekanisme bipartit hingga tripartit telah dilakukan kedua belah pihak. Namun, hak tersebut juga tak kunjung dipenuhi perusahaan. Dalam perundingan bipartit, 19 Mei 2015, Unilever yang diwakili kuasa hukumnya, Kemalsjah & Associates sepakat bahwa permohonan pensiun dini Revita disetujui.

Pensiun dini disepakati efektif sejak 1 Juli 2015. Tapi, pemutusan hubungan kerja itu tidak diikuti dengan pemberian hak berupa program medical scheme. Terkait hal ini, Revita menggandeng BP Lawyers Counselors at Law sebagai kuasa hukumnya dan menyatakan secara tegas tak menerima pemutusan hubungan kerja tanpa adanya fasilitas program kesehatan.

Karena deadlock, jalur tripartit menjadi upaya berikutnya. Revita memutuskan untuk mengajukan permohonan mediasi ke Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) Jakarta Selatan. Lewat tripartit itu, berdasarkan proses mediasi, Disnaker kemudian memberikan anjuran tertulis melalui Surat Nomor 2943/-1.835.3. tertanggal 31 Agustus 2015.

Dalam surat itu, Disnaker memberi anjuran agar perusahaan memberikan fasilitas kesehatan setelah pensiun kepada Revita. Akan tetapi, pihak Unilever malah tidak memberikan jawaban atau tanggapan terhadap anjuran tertulis tersebut. Atas sikap ini, Revita bersama kuasa hukumnya menilai bahwa Unilever menolak anjuran tertulis dari Disnaker.

Hal itu merujuk pada ketentuan Pasal 13 ayat (2) butir d UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Menurut Revita, sikap Unilever tersebut menunjukkan tak adanya itikad baik dalam menyelesaikan perselisihan yang terjadi. Hingga pada akhirnya, dengan bermodalkan ketentuan Pasal 14 UU Nomor 2 Tahun 2004, Revita mengajukan gugatan penyelesaian perselisihan hak ke PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dalam petitumnya, Revita dan kuasa hukumnya memohon kepada majelis hakim agar menerima dan mengabulkan gugatan. Selain itu, majelis hakim diminta menerima permohonan pensiun dini Revita disertai pemenuhan hak-haknya termasuk memperoleh perawatan kesehatan pasca pensiun. Saat ini, sidang di PHI tengah tahap pembuktian oleh Revita selaku penggugat.

Sayangnya, hingga berita ini diturunkan, hukumonline belum berhasil menghubungi pihak tergugat, baik dari PT Unilever Indonesia maupun kuasa hukumnya, Kemalsjah & Associates.
Tags:

Berita Terkait