Segera Terbit! Hukum Acara Penanganan Kejahatan Korporasi
Utama

Segera Terbit! Hukum Acara Penanganan Kejahatan Korporasi

Mahkamah Agung menjelaskan pentingnya hukum acara dalam penanganan kejahatan korporasi. Perkara yang masuk pengadilan minim.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Wakil Ketua MA, HM Syarifuddin, menyampaikan rencana MA menerbitkan hukum acara penanganan kasus pidana korporasi. Foto: ASH
Wakil Ketua MA, HM Syarifuddin, menyampaikan rencana MA menerbitkan hukum acara penanganan kasus pidana korporasi. Foto: ASH
Penindakan kejahatan apapun yang dilakukan perusahaan atau korporasi dinilai tidak optimal. Ini dapat dilihat sangat minimnya perkara yang melibatkan korporasi diproses hingga ke pengadilan. Padahal, berbagai Undang-Undang (UU) telah menempatkan korporasi sebagai subjek hukum yang dapat dipidana lantaran merugikan negara dan atau masyarakat, seperti pidana denda, penutupan perusahaan hingga pidana uang pengganti.

Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial HM. Syarifuddin saat menjadi pembicara kunci dalam Seminar bertajuk “Kedudukan dan Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Korupsi” yang diselenggarakan Balitbang Diklat Kumdil MA di Jakarta, Selasa (15/11).

Hadir sebagai narasumber yakni Hakim Agung Artidjo Alkostar, Guru Besar Pidana UGM Prof Eddy O.S Hiariej, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, dan Kasubdit Pelanggaran HAM pada Jampidsus Kejagung Undang Mugopal. Seminar ini diharapkan menjadi bahan masukan atas hasil penelitian sementara Puslitbang Kumdil MA sekaligus masukan terakhir terhadap rencana terbitnya Peraturan MA tentang hukum acara persidangan kejahatan korporasi. (Baca juga: MA Siapkan Perma Penanganan Perkara Kejahatan Korporasi).

Syarifuddin mengatakan tidak jalannya proses pertanggungjawaban pidana tertentu bagi perusahaan atau korporasi (entitas badan hukum) disebabkan ketiadaan hukum acara yang mengatur bagaimana memproses dugaan tindak pidana tertentu yang dilakukan korporasi. “Ini disebabkan prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasinya masih belum jelas,” kata Syarifuddin. (Baca juga: Pemerintah Diminta Serius Kawal Proses Hukum Korporasi Pelaku Karhutla).

Dia mencontohkan meski secara normatif korporasi sudah diatur sebagai subjek hukum dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor. Namun, beleid tersebut tidak memberikan arahan rumusan yang jelas kapan korporasi dapat dipandang melakukan tindak pidana korupsi. Persoalan lain, tidak dijelaskan apa yang dimaksud “hubungan kerja” dan “hubungan lain” dalam Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Tipikor.

Pasal 20 ayat (2) UU Pemberantasan Korupsi menyebutkan Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.”

Menurutnya, tidak jelasnya instrumen hukum tentang kedudukan dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana mengakibatkan multitafsir. Ini menyebabkan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dan penuntutan jarang sekali memutuskan korporasi sebagai pelaku pidana. Dengan dalih pengurus korporasi sudah dipidana, membayar denda, dan uang pengganti, sehingga korporasi dibiarkan bebas karena kasusnya dianggap selesai. (Baca juga: Jerat Korporasi Pembakar Lahan, Saatnya Konsep Strict Liability Digunakan).

Perbedaan juga kerap terjadi saat hakim akan memutuskan perkara korupsi, ketika ada aliran dana korupsi yang tersimpan dalam korporasi. Satu sisi, hakim berpendapat hasil korupsi tersebut dirampas untuk negara. Sisi lain ada hakim yang berpendapat hasil korupsi itu tidak bisa dirampas karena aliran dana korupsi yang tersimpan dalam korporasi tidak turut didakwakan dan tidak pernah didengarkan pembelaannya dalam persidangan.

Karena itu, MA segera menjawab berbagai persoalan ini lewat penerbitan rancangan Peraturan MA tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana Korporasi. Penyusunan Perma ini berkat kerja sama lintas sektoral yakni MA, KPK, Kejagung, Kepolisian, OJK, dan instansi terkait. “Rancangan Perma sudah disusun dengan baik. Diharapkan rencana terbitnya rancangan Perma ini dapat menjawab kegamangan atau keraguan aparat penegak hukum,” kata dia.

Menurutnya, materi rancangan Perma ini berisi rumusan kriteria korporasi disebut melakukan tindak pidana, siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, tata cara pemeriksaan korporasi dan atau pengurus korporasi, tata cara persidangan korporasi, serta putusan dan pelaksanaan putusan. “Rancangan Perma ini akan diputuskan oleh pimpinan MA,” katanya.

Di tempat yang sama, Juru Bicara MA Suhadi mengatakan hukum materil pertanggungjawaban korporasi dalam berbagai UU sebenarnya sudah jelas dan lengkap. Hanya saja, praktiknya aparat penegak hukum kesulitan merumuskan surat dakwaan karena KUHAP tidak mengenal subjek hukum rechtspersoon (badan hukum), tetapi hanya mengenal natuurlijkpersoon (orang pribadi).

“Selama ini aparat penegak hukum hanya kesulitan merumuskan surat dakwaan bagi korporasi sebagai pelakunya. Ini hanya terbentur hukum acara tindak pidana korporasi yang saat ini dirumuskan dalam rancangan Perma,” kata Suhadi. “Minggu-minggu ini, rancangan Perma ini akan dirapimkan. Paling lambat, kemungkinan bulan depan, Perma ini sudah disahkan pimpinan MA.”

Meski begitu, terlepas ada atau tidaknya hukum acara, baginya dibutuhkan keberanian penyidik dan penuntut umum untuk melimpahkan perkara kejahatan korporasi ke pengadilan. Sebab, penuntut umum memiliki peran sentral dalam merumuskan surat dakwaan terhadap pelaku pidana korporasi.
Tags:

Berita Terkait