Negosiasi Surat Berharga Obligasi Harus Dilakukan Melalui Sistem Elektronik
Utama

Negosiasi Surat Berharga Obligasi Harus Dilakukan Melalui Sistem Elektronik

Bursa Efek Indonesia (BEI) akan meluncurkan Sistem Electronic Trading Platform (ETP) awal April 2017. Sementara ini, regulator belum menetapkan penggunaan sistem ini secara mandatory.

Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Bursa Efek Indonesia. Foto: RES
Bursa Efek Indonesia. Foto: RES
Bursa Efek Indonesia (BEI) menetapkan belasan entitas yang terdiri dari perusahaan efek dan bank sebagai anggota pilot project fasilitas jual-beli surat utang yang terotomasi secara elektronik (Electronic Trading Platform/ETP). Enam perusahaan efek dan 5 bank akan mulai menjajal sistem baru mulai pekan depan.

“Sistem ini akan di-launching pekan depan,” kata Kepala Unit Pengembangan Sarana dan Prasarana Perdagangan BEI, Andi Priatnakusumah di kantor BEI Jakarta, Rabu (29/3).

Andi melanjutkan, 11 entitas tersebut akan mulai menggunakan sistem ETP dalam jual-beli surat berharga dimana selama ini transaksi di pasar sekunder dilakukan secara over the counter (OTC) atau di luar bursa. Kata Andi, sistem ETP ini memang diselenggarakan oleh BEI, tetapi transaksi yang terjadi di dalamnya tetap di luar bursa. Hadirnya sistem ETP ini, dimaksudkan untuk memudahkan pelaporan transaksi terhadap regulator karena sistem ini terintegrasi dengan sejumlah otoritas terkait.

“Tapi sementara, dari BEI – KPEI – BI masih belum terintegrasi,” katanya.
NoAnggota ETP Pilot
1 PT BNI Securities
2 PT Danpac Sekuritas
3 PT Mandiri Sekuritas
4 PT Sucorinvest Securities
5 PT Trimegah Securities Tbk
6 PT Indo Premier Sekuritas
Bank Umum
7 PT Bank Mandiri (Persero) Tbk
8 PT Bank Central Asia Tbk
9 PT Bank Negara Indonesia (Persero)
10 PT Bank Permata Tbk
11 Citibank N.A.
Daftar ORI per Maret 2017
NoSeri ORIInterest RateMaturity DateOutstanding (Miliar)
1 Obligasi Negara Ritel Seri ORI011 8.5% 15 Oktober 2017 21.215
2 Obligasi Negara Ritel Seri ORI012 9% 15 Oktober 2018 27.438
3 Obligasi Negara Ritel Seri ORI013 6.6%
15 Oktober 2019 19.691
Sumber: Bursa Efek Indonesia.

Sebagai gambaran, ETP itu sendiri merupakan fasilitas untuk melakukan proses jual-beli instrumen keuangan yang terotomasi dan terintegrasi mulai dari order oleh user, ke sistem eksekusi order menjadi transaksi perdagangan (automated trade execution) dan diseminasi informasi pre-trade seperti kuotasi harga bid/offer maupun informasi post-trade, yakni harga dan volume transaksi secara elektronik.

Andi melanjutkan, sistem ETP memiliki beberapa fitur yang dibuat menyerupai skema yang nyata terjadi dalam pasar uang, yakni negosiasi. Skema negosiasi ini tetap diadakan dalam sistem bahkan ada beberapa pilihan fitur seperti kuotasi, negosiasi bilateral, serta crossing atau mekanisme negosiasi secara over the counter (OTC) dimana setelah ada kesepakatan, pihak investor dan perusahaan efek atau bank memasukan transaksi itu ke dalam sistem.

“Ada fitur fully negotiation. Bisa langsung tanpa kuotasi,” katanya. (Baca Juga: Begini Keputusan Baru BEI Soal Auto Rejection)

Prosesnya, hanya ada tiga tahapan, yakni kuotasi – negosiasi – dan deal. Harga yang tengah dinegosiasikan tidak akan bisa dibaca publik namun setelah harga itu disepakati oleh investor, baru kemudian harga itu bisa terbaca publik yang mengakses sistem ETP ini. untuk sementara ini, lanjutnya, BEI belum memberlakukan sistem ini secara mandatory. Karena BEI sendiri sudah menetapkan tahapan dimana pada tahap awal BEI hanya akan menampung sebagian perusahaan efek dan bank yang siap bertransaksi.

Biaya transaksi melalui ETP terbagi menjadi dua pungutan, yakni biaya trade ETP dengan nilai sampai dengan Rp1 miliar dikenakan Rp15.000 setiap kali transaksi. Sedangkan, transaksi dengan nilai Rp1 miliar-Rp10 miliar dikenakan 0,00125 persen setiap nilai transaksi. Adapun transaksi di atas Rp10 miliar dikenakan sebesar 0,001 persen per transaksi.

Selain itu, setiap transaksi memanfatkan ETP dikenakan biaya kliring Rp4.500 per transaksi dengan nilai hingga Rp1 miliar. Sementara, transaksi dengan nilai Rp1 miliar-Rp10 miliar dikenakan biaya 0,000375 persen per transaksi dan di atas Rp10 miliar dikenakan 0,0003 persen untuk setiap transaksi.

“Implementasi sistem ini akan dibagi tiga tahap. Tahap pertama diatur pihak-pihaknya. Nanti tahap keempat, diprediksi paling lambat empat tahun setelah launching Maret 2017 ini,” singkatnya.

Hukumonline.com 

Direktur PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI), Wahyu Trenggono, mengatakan bahwa dengan adanya sistem ETP ini, waktu menjual surat berharga obligasi dapat dilakukan secara lebih cepat dan efisien. Perusahaan sekuritas atau bank juga dapat memangkas waktu penawaran obligasi kepada investor serta memangkas kewajiban pelaporan transaksi surat utang (PLTE/Penerima Laporan Transaksi Efek) kepada OJK yang diatur maksimal setengah jam setelah adanya transaksi.

“Kehadiran ETP ini jadi satu peluang sehingga investor harus dapat manfaat lebih dibanding kondisi sebelum ada ETP. Idealnya nanti akan mendekati pasar saham. Masukin order, negosiasi, lalu kejadian,” kata Wahyu. (Baca Juga: OJK Finalisasi Usulan BEI Terkait Peraturan Marjin)

Sebelum adanya ETP, transaksi OTC memakan waktu yang cukup panjang sewaktu menjual obligasi. Perusahaan sekuritas atau perbankan menawarkan surat utang obligasi kepada investor menggunakan cara manual, yakni menelepon investor potensial satu per satu. Itu pun masih belum jelas, apakah investor akan tertarik dan butuh waktu yang relatif lebih lama. Dan yang paling buruk, proses seperti itu punya dampak dimana pasar uang menjadi korban, yakni menjadi tidak dalam dan tidak likuid.

Dengan adanya sistem ETP, investor melalui perusahaan sekuritas atau bank yang akan menjual obligasi hanya perlu masuk ke dalam sistem ETP. Setelah masuk ke sistem, maka informasi obligasi yang tengah dijajakan itu akan diketahui oleh publik. Bila ada pihak yang tertarik, mereka juga tinggal melakukan negosiasi yang juga dilakukan dalam sistem ETP. Kata Wahyu, proses ini lebih transparan karena penawaran dilakukan secara terbuka lewat sistem kecuali negosiasi yang dilakukan secara bilateral dalam sistem.

“Lebih transparan walaupun sifatnya tetap negosiasi. Nature pasar obligasi adalah negosiasi. Di bandingkan pasar OTC yang murni di luar bursa. Dengan sistem ini bisa order jual dan order beli. Jadi informasi yang didapat akan tersentralisasi,” kata Wahyu yang menjabat Project Coordinator ETP.

Hukumonline.com

Terlepas dari hal itu, Wahyu menjelaskan bahwa pasar obligasi di Indonesia sendiri baru terbentuk sekira tahun 2000 dimana waktu itu dikeluarkan produk Obligasi Rekapitalisasi (OR) atau dikenal dengan sebutan Surat Utang Negara (SUN) yang diterbitkan pemerintah untuk mendanai perbankan pasca dilanda krisis tahun 1998-1999. Pasar ini kemudian berkembang pelan-pelan sampai saatnya tahun 2005, pasar terguncang lantaran pemain dalam pasar sekunder ini sangat sedikit serta hanya ada segelintir investor yang memegang surat utang.

“Tahun 2005 terjadi turbulensi di pasar obligasi kita, harga obligasi saat itu drop jauh sekali dan banyak investor merugi, terutama investor pemegang reksa dana atau investor dari manajer investasi. Padahal saat itu reksa dana total asetnya mencapai Rp 100 Triliun, lalu drop hingga Rp 40 trilun jadi dropnya 60%,” katanya.

Karena kejadian itu, akhirnya pemerintah mencari solusi agar pasar obligasi ini menjadi likuid, banyak pemainnya dan semakin berkembang instrumennya. Sejak tahun 2005, pemerintah telah berkonsultasi dengan banyak negara dimana akhirnya ditetapkan bahwa pemerintah condong dengan konsep yang diterapkan negara Korea Selatan yang mana dianggap pemerintah negara tersebut telah berhasil mengembangkan pasar obligasi yang juga mulai berkembang sekira tahun 2000.

Pasar obligasi di Korea Selatan berlandaskan pada tiga pilar. Pertama, primary dealership yang mana di Indonesia dikenal dengan sebutan PIDIS atau pihak yang bisa melakukan bid obligasi di pasar primer secara langsung kepada pemerintah. Kedua, Bond Pricing Agency yang di Indonesia dikenal dengan Lembaga Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA). Ketiga, ETP sebagai pilar yang sangat penting untuk mewadahi serta mendukung pasar sekunder.

“Setelah ada PIDIS, pasar obligasi primernya sudah bergerak. Setelah pasar obligasi primernya sudah banyak, lalu ingin berdagang ke pasar sekunder. Di pasar sekunder ada kebingungan harganya berapa lalu muncul Bond Pricing Agency, lalu masuk ke pilar penting yaitu platform perdagangan,” katanya. (Baca Juga: Investor Pasar Modal dan Pasar Uang Wajib Punya Nomor Tunggal Identitas)

Hukumonline.com

Wahyu menambahkan, ide pembentukan ETP sudah dicanangkan sejak tahun 2006. Tapi, cikal bakalnya baru dibahas sekira tahun 2014 dimana OJK, BI, dan Kementerian Keuangan membentuk tim yang ditujukan untuk memajukan pasar surat utang, yang dikenal dengan Tim Pengembangan Pasar Surat Utang (TPPSU). Tim itu ditugaskan untuk membuat pasar surat utang di Indonesia lebih dalam dan likuid. Salah satu poin yang ingin dicapai pasca dibentuknya TPPSU adalah peluncuran ETP di Indonesia.

Setelah itu, TPPSU membuat kajian dan mulai tahun 2015 sampai tahun 2016, TPPSU mulai melakukan development sistem ETP. Selain mulai membangun sistemnya, juga mulai melakukan diskusi dengan pelaku pasar serta berbagai pihak untuk sampai pada tahap implementasi. Sistem itu nantinya diselenggarakan oleh BEI tetapi transaksi tersebut bukan transaksi bursa untuk memfasilitasi transaksi obligasi di luar bursa.

“Semua sudah kita siapkan baik dari segi sistem, peraturan, sosialiasasi juga dan targetnya tinggal peluncuran,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait