Mengakhiri Konflik Konsumen & Pengembang Apartemen
Kolom

Mengakhiri Konflik Konsumen & Pengembang Apartemen

Asas kemitraan itu harus diimplementasikan oleh pengembang apartemen dengan memenuhi ketentuan UU Rumah Susun tentang perizinan, promosi maupun pengelolaan.

Bacaan 2 Menit
Riki Perdana Raya Waruwu. Foto: Koleksi Pribadi.
Riki Perdana Raya Waruwu. Foto: Koleksi Pribadi.
Pengantar
Beberapa minggu belakangan, secara bersahut-sahutan koran, televisi dan media online menyuguhkan berita konflik antara komika Muhadkly MT alias Acho dengan pengelola Apartemen Green Pramuka City. Tentu saja Acho tidak sendiri, di belakangnya, barisan penghuni (sekaligus pemilik) apartemen lain berdiri menyokongnya untuk menyuarakan ketidakpuasan pengelolaan.  

Meski pada akhirnya ada informasi, Acho dan pengelola Apartemen tengah menggodok konsep perdamaian toh info keributan dan silang sengketa ini keburu tersiar ke penjuru negeri. Atau ada lagi konflik lain yang tak kalah menariknya, yaitu ihwal 13 pemilik sekaligus penghuni apartemen Kalibata City menggugat pengelola ke pengadilan.

Ada apa sebenarnya yang terjadi? Apakah ekspektasi konsumen terlampau berlebihan untuk mendapatkan pelayanan? Atau manajemen apartemen yang memang dikelola secara serampangan?

Pertanyaan-pertanyaan ini menimbulkan kecemasan terutama aspek perlindungan hukumnya. Dan hubungan "benci tapi rindu" antara konsumen dengan pengembang apartemen ini tentu harus dicari jalan keluar yang tepat dan bijak.

Apartemen, menurut ketentuan Pasal 1 angka 10 UU 20/2011 tentang Rumah Susun (UURS) termasuk pada kategori Rumah Susun Komersil karena diselenggarakan untuk mendapatkan keuntungan. Ada beberapa pihak yang terlibat dalam kegiatan bisnis apartemen di antaranya Pelaku Usaha/Pengembang, Pemerintah, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Notaris, dan Konsumen.

Konsumen merupakan pihak yang memiliki dan atau sekaligus menghuni apartemen sedangkan pelaku usaha yang disebut pengembang sebagai pihak yang membangun/menyediakan/menawarkan/menjual/mengelola apartemen kepada konsumen. Penyelenggaraan apartemen dilakukan dengan berpedoman pada 13 asas dan salah satu di antaranya “asas kemitraan”.

Asas kemitraan adalah memberikan landasan agar penyelenggaraan rumah susun dilakukan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan pelaku usaha dan masyarakat dengan prinsip saling mendukung sebagaimana dimaksud penjelasan Pasal 2 huruf m UURS. Prinsip saling mendukung antara pengembang dan masyarakat selaku konsumen termasuk bagaimana bentuk kesepakatan yang dibuat terkait dengan kepemilikan unit apartemen.

Kesepakatan kepemilikan unit apartemen berlandaskan keseimbangan kedudukan hukum konsumen dan pengembang yang menyangkut hak dan kewajiban pada saat menandatangani Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), Akta Jual Beli (AJB) dan pelayanan atas hunian apartemen.

Pengembang apartemen umumnya melakukan promosi pada saat memasarkan unit apartemen melalui berbagai iklan yang menarik. Iklan dikemas dalam berbagai media yang menjelaskan keunggulan apartemen “mulai dari promo harga, letak yang strategis, berbagai fasilitas yang akan tersedia pada apartemen”. Pada kenyataannya tidak sedikit berbagai fasilitas yang ditawarkan sebelumnya, belum atau tidak dapat dipenuhi oleh pengembang sehingga menyebabkan terjadinya sengketa dengan konsumen.

Hak Konsumen dan Aspek Hukum Pidana
Konsumen berhak hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (3) UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lebih lanjut di dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f UUPK diatur “Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut” dan atas perbuatan tersebut pelaku usaha dapat diproses secara pidana dengan ancaman penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sebagaimana dimaksud Pasal 62 ayat (1) UUPK.

Selain itu, melalui ketentuan Pasal 110 huruf a UURS diatur “Pelaku pembangunan yang membuat PPJB yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah)”. Adapun maksud dipasarkan dalam pasal ini termasuk pada promosi atau janji-janji berupa segala kemudahan yang pada akhirnya menarik minat calon konsumen untuk memiliki unit apartemen. Hal ini berarti pembentuk UURS sudah memetakan potensi konflik atas ketidaksesuaian antara pemasaran dengan kenyataan. Walaupun demikian, aspek hukum pidana mesti dijadikan pilihan terakhir atau ultimum remedium.

Upaya menarik pengembang apartemen dilakukan dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum orang sebagai pelaku usaha atau pelaku pembangunan, bukan dalam kapasitasnya sebagai subjek hukum korporasi. Di dalam UUPK dan UURS tidak disebutkan nomenklatur korporasi sebagaimana syarat melakukan penindakan korporasi dalam PERMA 13/2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana, Pasal 1 angka 8 “Tindak Pidana oleh Korporasi adalah tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang korporasi”.

Aspek Hukum Perdata dan Fasilitas yang belum atau tidak terpenuhi
Selain melalui proses pidana, pengembang apartemen dapat juga digugat secara keperdataan di pengadilan negeri. Pada Pengadilan Jakarta Utara, terdapat gugatan yang diajukan konsumen terhadap pengembang apartemen karena pengembang tidak juga merealisasikan fasilitas kolam renang yang dijanjikan pada saat promosi. Namun setelah melalui proses persidangan, ternyata diketahui bahwa fasilitas yang dimaksud bukan tidak dibangun namun belum dibangun karena merupakan pembangunan tahap akhir.

Sengketa demikian ini, mestinya tidak terjadi apabila pengembang sejak awal telah menjelaskan tahapan pembangunan fasilitas apartemen kepada konsumen dalam bentuk tabel-tabel pengerjaan. Selain itu, mengenai perizinan juga perlu disampaikan kepada calon konsumen karena pembuatan PPJB dilakukan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas a. status kepemilikan tanah; b. kepemilikan IMB; c. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; d. keterbangunan paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan e. hal yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (2). Pelaku usaha yang tidak memenuhi ketentuan di atas memiliki konsekuensi pidana dalam ketentuan Pasal 110 huruf b UURS.

Tanggungjawab terhadap promosi dan perizinan juga dibebankan kepada kementerian terkait, gubernur pada tingkat provinsi dan bupati/walikota pada tingkat kabupaten/kota atas penyelenggaraan rumah susun karena memiliki kewenangan melakukan pembinaan dalam bentuk perencanaan, pengaturan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 5 dan 6 UURS. Pada bidang pengawasan ketiga elemen di atas dapat memastikan ada tidaknya pemberian izin pembangunan suatu fasilitas tertentu dalam suatu kawasan apartemen yang kemudian disesuaikan dengan promosi yang diiklankan oleh pengembang sehingga dapat terhindar dari potensi konflik.

Penyerahan Sertifikat dan Unit Melewati Batas Waktu
Adapula sengketa yang ditimbul di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena penyerahan unit apartemen dan sertifikat tidak sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati. Hak yang dapat dituntut oleh konsumen berupa ganti biaya dan kerugian sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1236 KUHPerdata.

Konsumen dapat pula menuntut pembatalan perjanjian sebagaimana dipedomani ketentuan Pasal 1265 KUHPerdata “Suatu syarat batal adalah syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila peristiwa yang dimaksudkan terjadi”.      

Menunda Pelaksanaan AJB
Sengketa lainnya di Pengadilan Negeri Surabaya, ketika Pengembang tidak melaksanakan kewajibannya untuk segera melakukan penandatanganan Akta Jual Beli (AJB) sehingga Konsumen tidak mempunyai kepastian hukum atas kepemilikan unit apartemen yang telah dibayar lunas. Dalam sengketa ini, pengembang mestinya mematuhi kewajibannya yang telah disepakati dan apabila perlu adanya penjadwalan ulang guna pelaksanaan AJB, pengembang dapat memberikan penjelasan untuk meminta persetujuan konsumen.

Penundaan pelaksanaan AJB termasuk kategori wanprestasi, namun dalam kaitannya dengan PPJB yang sempurna maka Notaris perlu mengindentifikasi potensi sengketa antara para pihak, mulai dari identitas, perizinan, iklan-iklan promosi yang merupakan satu kesatuan dengan penjualan unit apartemen, dan lain sebagainya termasuk apakah memungkinkan AJB dilaksanakan sesuai dengan waktu yang disepakati.

Pembatalan Sepihak PPJB
Pembatalan sepihak kesepakatan PPJB oleh pengembang juga menjadi sengketa sebagaimana diketahui melalui Putusan 989 K/Pdt/2013. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dengan alasan pertimbangan hukum putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) yang membatalkan putusan Judex Facti (Pengadilan Negeri) dengan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat telah tepat dan benar serta tidak salah dalam menerapkan hukum.

Pengadilan Tinggi melalui Putusan Nomor 583/PDT/2011/PT DKI telah membatalkan Putusan Nomor 320/Pdt.G/2010/PN Jkt Ut, mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian serta mengembalikan uang angsuran pemesan sebesar setengah dari uang yang telah diserahkan. Awal mulanya telah disepakati PPJB antara pengembang dan konsumen namun karena konsumen lalai memenuhi kewajiban pembayaran cicilan maka pengembang membatalkan PPJB atas dasar kewenangan di dalam perjanjian.

Klausul di dalam PPJB tersebut mengatur “Apabila terjadi keterlambatan pembayaran yang melampaui 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran, maka penerima pesanan berhak membatalkan secara sepihak pemesanan atas unit pesanan, dengan melepaskan ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan penerima pesanan hanya mengembalikan 50 % (lima puluh persen) dari jumlah uangyang dibayarkan pemesan kepada penerima pesanan setelah dikurangi booking fee, PPN, biaya dan kewajiban pembayaran lainnya (kalau ada)”.

Kesepakatan ini telah mereduksi kewajiban pembatalan perjanjian melalui pengadilan dengan tujuan menyederhanakan proses penyelesaian sengketa diantara para pihak namun pengembalian uang yang dibayarkan sebanyak 50% sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip batalnya perjanjian berdasarkan 1265 KUHPerdata yang mengharuskan “kembali ke keadaan semula” yakni kembalinya uang konsumen sebanyak 100%. Namun bisa juga dipahami sebagai pembenaran kesepakatan kalau ternyata konsumen telah menikmati fasilitas unit apartemen tersebut.

Dalam hal, pengembang tidak memberikan waktu yang cukup kepada konsumen untuk mempelajari isi PPJB, yang di dalamnya memuat klausul pembatalan seperti di atas maka bisa saja dianggap pengembang melakukan kelalaian. Untuk menghindari hal di atas maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang terhadap butir-butir kesepakatan.

Simpulan
Pada akhirnya, konflik  Komika Acho dengan Green Pramuka City atau konsumen apartemen lainnya dengan Pengembang tidak harus terjadi karena terdapat asas kemitraan di antara mereka. Asas kemitraan itu harus diimplementasikan oleh pengembang apartemen dengan memenuhi ketentuan UURS tentang perizinan, promosi maupun pengelolaan.

Konsumen kudu jeli memahami butir-butir kesepakatan di dalam PPJB dan AJB. Notaris/PPAT juga harus memastikan ketentuan di dalam UURS telah terpenuhi dengan konten kesepakatan yang berimbang sedangkan pemerintah berkewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan pengembang apartemen.

*) Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. adalah Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA
Catatan Redaksi:
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline
Tags: