BI: Ada 3 Ketentuan Krusial dalam PBI Commercial Paper
Berita

BI: Ada 3 Ketentuan Krusial dalam PBI Commercial Paper

Dalam PBI No.19/9/PBI/2017, BI juga mencatumkan banyak peraturan dari sisi penerbit, untuk menjaga kepercayaan investor.

M. Agus Yozami/ANT
Bacaan 2 Menit
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia. Foto: SGP
Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial (SBK) di Pasar Uang. Dengan terbitnya peraturan transaksi SBK, maka Surat Keputusan Direksi BI Nomor 28/52/KEP/DIR tentang Persyaratan Penerbitan dan Perdagangan SBK dicabut.

Dalam sebuah acara diskusi di Gedung BI, Senin (11/9), Kepala Departemen Pengembangan Pendalaman Pasar Keuangan BI, Nanang Hendarsah, menjelaskan bahwa PBI tersebut dibuat untuk mencegah kembali terjadinya krisis di pasar keuangan seperti pada 1998.

Menurut Nanang, terdapat tiga ketentuan krusial dalam peraturan baru penerbitan dan transaksi Surat Berharga Komersial (Commercial Paper/CP) yang dibuat untuk mencegah kembali terjadinya krisis di pasar keuangan.

Pertama, seluruh perdagangan dan transaksi SBK akan dicatat tanpa warkat atau scriptless trading, melainkan secara elektronik dan diselesaikan dengan pemindahbukuan. "Tahun 1998 banyak SBK yang fiktif, makanya sekarang kami atur scriptless," ujar dia seperti dikutip Antara.

Nanang mengatakan salah satu krisis keuangan pada 1998 disebabkan SBK fiktif dan gagal bayar seperti pada SBK yang diterbitkan Garuda Indonesia, Hutama Karya, Kertas Leces, Istana Karya. (Baca Juga: Harapan INI Sebagai Lembaga Pendukung Penerbit Surat Berharga Komersial)

Kedua, Nanang mengatakan BI mewajibkan penerbit SBK yakni korporasi non-bank harus memiliki peringkat yang ekuivalen layak investasi (investment grade). Peringkat (rating) ini untuk menjaga kepercayaan investor dengan menjamin tata kelola penerbitan serta transaksi SBK yang baik. "Pada 1998, belum ada ketentuan mengenai syarat peringkat ini," ujar dia.

Kepastian peringkat tersebut, ujar Nanang, diharapkan dapat meningkatkan aliran investasi untuk pasar SBK domestik. Sebelum 1998, peran lembaga pemeringkat dalam tata kelola instrumen pasar uang tidak optimal. Hal itu juga yang mempengaruhi keputusan investasi dari penanam dana.

Ketiga, kata Nanang, dalam tata kelola transaksi, BI juga mewajibkan minimal pembelian SBK oleh investor sebesar Rp500 juta atau satu juta dolar AS, atau ekuivalen dalam nominal valuta asing yang lainnya. Hal ini untuk menjaga agar transaksi SBK dilakukan oleh investor menengah ke atas, karena memang karakteristik instrumen ini idak ditujukan untuk investor ritel.

Sedangkan penerbitan minimal nilai SBK-nya oleh korporasi sebesar Rp10 miliar atau satu juta dolar AS atau ekuivalen dalam valuta asing lainnya. "Karena ini memang lebih untuk pendanaan wholesale funding, bukan ritel," ucapnya. (Baca Juga: HKHPM Susun Standar Profesi Lembaga Pendukung Penerbit Surat Berharga Komersial)

Nanang menjelaskan dalam PBI tersebut, BI juga mencatumkan banyak peraturan dari sisi penerbit, untuk menjaga kepercayaan investor. Misalnya, syarat untuk penerbit harus korporasi emiten saham pada Bursa Efek Indonesia, atau pernah menerbitkan obligasi atau sukuk yang dicatat di BEI dalam lima tahun terakhir.

Jika tidak tercatat sebagai emiten atau perusahaan publik, korporasi penerbit harus beroperasi paling singkat tiga tahun atau kurang dari tiga tahun sepanjang memiliki penjaminan atau penanggungan. Kemudian, memiliki ekuitas paling sedikit Rp50 miliar dan menghasilkan laba bersih untuk satu tahun terakhir.

BI juga mengatur kriteria SBK yang dapat diterbitkan, kewajiban penerbit SBK untuk mendaftarkan rencana penerbitan SBK ke BI, prinsip-prinsip keterbukaan informasi mengenai korporasi penerbit, prinsip-prinsip dalam penawaran SBK dan prinsip-prinsip dalam penerbitan dan penatausahaan SBK. (Baca Juga: BI Terbitkan Aturan Surat Berharga Komersial di Pasar Uang)

Dorong Penurunan Bunga Kredit
Di samping itu, penerbitan peraturan untuk pengeluaran dan transaksi Surat Berharga Komersial (Commercial Paper/CP) sebagai instrumen utang jangka pendek bagi korporasi, diperkirakan mampu mendorong perbankan untuk menurunkan bunga kreditnya, khususnya kredit modal kerja.

Nanang Hendarsah mengatakan semakin banyaknya instrumen utang di pasar keuangan, akan membuat persaingan penyaluran pembiayaan, seperti kredit bank akan menjadi lebih kompetitif. "Secara bertahap, kita lihat, bunga kredit modal kerja juga bisa turun karena banyaknya sumber pembiayaan," ujar dia.

Hingga Juni 2017, menurut Analisa Uang Beredar dalam Arti Luas oleh Bank Sentral, suku bunga kredit bank rata-rata masih 11,83 persen atau masih jauh dari ekspetasi suku bunga kredit satu digit.

Menyinggung biaya pendanaan yang lebih murah, Nanang mengatakan Commercial Paper sebagai salah satu instrumen utang oleh korporasi, memang memiliki tingkat biaya yang lebih murah, ketimbang bunga kredit dari bank.

Misalnya, jika sebuah korporasi mengajukan kredit kepada bank, korporasi itu juga harus membayar biaya bunga yang dihitung dari komponen suku bunga dasar kredit, kolateral, dan biaya provisi.

Sementara dengan menerbitkan instrumen Commercial Paper, korporasi memang masih harus mengeluarkan biaya seperti biaya pemeringkatan dan penatausahaan. Namun, biayanya lebih murah dibanding biaya bunga bank. Bahkan, kata Nanang, selisihnya bisa mencapai 100 basis poin atau satu persen lebih rendah dibanding biaya bunga bank.

Korporasi bisa menerbitkan instrumen Commercial Paper jika membutuhkan pendanaan dengan tenor hingga 12 bulan.  Selain itu, lanjut Nanang, dengan penerbitan SBK, korporasi akan mendapatkan pendanaan langsung dari pasar, bukan melalui perantara dari perbankan.


Tags:

Berita Terkait