Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Orang dengan Gangguan Kejiwaan Bersaksi di Pengadilan?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Bolehkah Orang dengan Gangguan Kejiwaan Bersaksi di Pengadilan?

Bolehkah Orang dengan Gangguan Kejiwaan Bersaksi di Pengadilan?
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Orang dengan Gangguan Kejiwaan Bersaksi di Pengadilan?

PERTANYAAN

Teman saya pernah dituduh mengacak-acak kantor sehingga ada dokumen yang hilang, dan dikatakan ada yang melihat (saksi) yaitu seseorang yang mempunyai keterbelakangan mental/cacat mental, apakah anak tersebut secara hukum dapat dijadikan saksi? Dan orang yang menuduh tersebut apakah bisa dikategorikan memfitnah? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Pertama kita perlu memahami arti saksi terlebih dahulu. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Demikian yang disebut dalam Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”). Jadi, apabila memang orang yang memiliki keterbelakangan mental/cacat mental dalam pertanyaan Anda itu mendengar, melihat, atau mengalami sendiri suatu perkara pidana, maka ia dapat disebut sebagai saksi.

     

    Namun, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi (“MK”) telah memberikan perluasan makna saksi, yakni tidak hanya orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri, tetapi juga setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana wajib didengar sebagai saksi demi keadilan dan keseimbangan penyidik yang berhadapan dengan tersangka/terdakwa. Penjelasan lebih lanjut mengenai putusan ini dapat Anda simak dalam artikel MK ‘Rombak’ Definisi Saksi dalam KUHAP.

     

    Mengenai anak sebagai saksi, dilihat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”). Dalam UU SPPA dikenal anak sebagai saksi. Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri [Pasal 1 angka 5 UU SPPA].

    KLINIK TERKAIT

    Sumpah Saksi di Pengadilan, Begini Aturannya

    Sumpah Saksi di Pengadilan, Begini Aturannya
     

    Pada prinsipnya, dalam hukum pidana dikenal golongan orang-orang yang tidak dapat didengar keterangannya atau dapat mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu Pasal 168 KUHAP:

    a.    Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    b.    Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

    c.    Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

     

    Mengacu hal-hal di atas, Pasal 168 KUHAP tidak menyebutkan bahwa saksi yang menderita gangguan mental itu termasuk orang yang tidak dapat atau dilarang untuk didengar keterangannya sebagai saksi. Di samping itu, menurut Ketua Badan Pengurus Intitute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju, pada dasarnya tidak ada ketentuan yang menyebut secara eksplisit tentang larangan orang yang menderita gangguan mental untuk menjadi saksi. Di sini, hakimlah yang menentukan dan memutuskan apakah orang tersebut dapat didengar keterangannya atau tidak. Sebelum didengarkan keterangannya, hakim wajib bertanya mengenai latar belakang saksi. Ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 160 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:

     

    “Hakim ketua sidang menanyakan kepada saksi keterangan tentang nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan, selanjutnya apakah ia kenal terdakwa sebelum terdakwa melakukan perbuatan yang menjadi dasar dakwaan serta apakah ia berkeluarga sedarah atau semenda dan sampai derajat keberapa dengan terdakwa, atau apakah ia suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau terikat hubungan kerja dengannya.”

     

    Anggara juga menjelaskan bahwa terkait keadaan saksi yang akan mempengaruhi apakah keterangannya itu bisa didengar atau tidak, hakim wajib memperhatikan kondisi saksi. Hal ini terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) huruf d KUHAP yang mengatur bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Ini artinya, apakah kemudian saksi yang menderita gangguan kejiwaan itu bisa didengar atau tidak keterangannya, hal itu bergantung pada penilaian hakim.

     

    Anggara mempertegas bahwa keputusannya ada di hakim. Hakimlah yang menilai apakah seseorang dapat didengar keterangannya sebagai saksi atau tidak, termasuk jika dia menderita cacat mental.

     

    Selain itu, masih terkait dengan saksi yang menderita gangguan mental atau kejiwaan, KUHAP juga mengatur bahwa saksi yang memiliki gangguan jiwa itu boleh diperiksa di pengadilan untuk memberi keterangan tanpa disumpah karena keterangan mereka tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dan hanya dipakai sebagai petunjuk saja. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 171 KUHAP:

     

    Yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:

    a.    anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

    b.    orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali

     

    Menurut penjelasan pasal ini, mengingat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

     

    Menjawab pertanyaan Anda lainnya soal memfitnah, pada dasarnya, jika orang yang memfitnah/menuduh teman Anda mengacak-acak kantor sehingga ada dokumen yang hilang itu terbukti tidak benar, maka perbuatan itu dikategorikan sebagai tindak pidana fitnah.

     

    Soal fitnah, kita mengacu pada Pasal 311 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

     

    “Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan tuduhannya itu, jika ia tidak dapat membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukum penjara selama-lamanya empat tahun.”

     

    Agar perbuatan dikatakan sebagai fitnah, maka perbuatan tersebut harus memenuhi unsur-unsur Pasal 311 ayat (1) KUHP, yaitu:

    1.    Seseorang;

    2.    Menista orang lain baik secara lisan maupun tulisan;

    3.    Orang yang menuduh tidak dapat membuktikan tuduhannya dan jika tuduhan tersebut diketahuinya tidak benar;

     

    Jadi, apabila dalam pemeriksaan ternyata yang dituduhkan oleh orang itu terhadap teman Anda yang menghilangkan dokumen itu ternyata tidak benar, maka perbuatan orang  yang menuduhnya dikenakan pasal ini termasuk fitnah dan dikenakan pasal ini. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam artikel Tidak Terima Dituduh Sebagai Pencuri dan Menuduh Gadis Sudah Tidak Perawan, Fitnah atau Penghinaan?

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915;

    2.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

    3.    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

    4.    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

     

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

     

    Tags

    anak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Pemindahan Kepemilikan Perusahaan (Akuisisi) oleh Pemegang Saham

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!