Intisari:
Memang benar bahwa secara umum overmach dan noodtoestand sama-sama merupakan suatu keadaan memaksa. Yang membedakan adalah overmacht merupakan keadaan memaksa yang ditimbulkan oleh adanya pemaksaan yang dilakukan oleh seorang manusia, sedangkan noodtoestand sdalah keadaan memaksa yang timbul bukan karena adanya sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia malainkan terjadi karena keadaan-keadaan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Overmacht
Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.
Berdasarkan pasal tersebut, overmacht menjadi dasar peniadaan/penghapusan hukuman. Dalam KUHP dan undang-undang lain tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai overmacht ini, penelaahan mengenai istilah overmacht kita dapatkan dari pemikiran para pakar hukum.
Sebagaimana pernah dikutip dalam artikel
Daya Paksa dan Pembelaan Terpaksa Sebagai Alasan Penghapus Pidana, R. Sugandhi, S.H. mengatakan bahwa kalimat “karena pengaruh daya paksa” harus diartikan baik pengaruh daya
paksaan batin, maupun lahir, rohani, maupun jasmani. Daya paksa yang tidak dapat dilawan adalah kekuatan yang lebih besar, yakni kekuasaan yang pada umumnya tidak mungkin dapat ditentang.
Masih bersumber dari artikel yang sama, keadaan memaksa atau overmacht dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
Yang bersifat mutlak
Dalam hal ini, orang itu tidak dapat berbuat lain. Ia mengalami sesuatu yang sama sekali tidak dapat ia elakkan. Misalnya, seseorang dipegang oleh seseorang lainnya yang lebih kuat, kemudian dilemparkannya ke jendela kaca sehingga kacanya pecah dan mengakibatkan kejahatan merusak barang orang lain. Dalam peristiwa semacam ini dengan mudah dapat dimengerti bahwa orang yang tenaganya lemah itu tidak dapat dihukum karena segala sesuatunya yang melakukan ialah orang yang lebih kuat. Orang kuat inilah yang berbuat dan yang harus dihukum.
Yang bersifat relatif
Dalam hal ini, kekuasaan atau kekuatan yang memaksa orang itu tidak mutlak, tidak penuh. Orang yang dipaksa itu masih punya kesempatan untuk memilih mana yang akan dilakukan. Misalnya A ditodong dengan pistol oleh B, disuruh membakar rumah. Apabila A tidak segera membakar rumah itu, maka pistol yang ditodongkan kepadanya tersebut akan ditembakkan. Dalam pikiran, memang mungkin A menolak perintah itu sehingga ia ditembak mati. Akan tetapi apabila ia menuruti perintah itu, ia akan melakukan tindak pidana kejahatan. Walaupun demikian, ia tidak dapat dihukum karena adanya paksaan tersebut. Perbedaan kekuasaan bersifat mutlak dan kekuasaan bersifat relatif ialah bahwa pada yang mutlak, dalam segala sesuatunya orang yang memaksa itu sendirilah yang berbuat semaunya, sedang pada yang relatif, orang yang dipaksa itulah yang melakukan karena dalam paksaan kekuatan.
R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 63) mengatakan bahwa paksaan itu harus ditinjau dari banyak sudut, misalnya apakah yang dipaksa itu lebih lemah daripada orang yang memaksa, apakah tidak ada jalan lain, apakah paksaan itu betul-betul seimbang apabila dituruti dan sebagainya. Hakimlah yang harus menguji dan memutuskan hal ini.
Yang merupakan suatu keadaaan darurat
Pada keadaan darurat ini orang yang terpaksa itu sendirilah yang memilih peristiwa pidana mana yang akan ia lakukan, sedang pada kekuasaan yang bersifat relatif, orang itu tidak memilih. Dalam hal ini (kekuasaan yang bersifat relatif - red), orang yang mengambil prakarsa ialah orang yang memaksa.
Hal senada juga disampaikan oleh Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 441), pengertian overmacht seperti yang telah diatur di dalam Pasal 48 KUHP itu, pembentuk undang-undang telah mengakui tentang adanya tiga macam peristiwa pokok, di mana suatu overmacht itu dapat terjadi, yakni:
peristiwa-peristiwa di mana terdapat pemaksaan secara fisik;
peristiwa-peristiwa di mana terdapat secara psikis; dan
peristiwa-peristiwa di mana terdapat suatu keadaan yang biasanya juga disebut sebagai nothstand atau noodtoestand atau sebagai keadaan terpaksa.
Noodtoestand
Sejalan dengan yang telah dijelaskan di atas, Lamintang (hal. 441) pada intinya mengatakan bahwa jenis overmacht yang bukan terjadi karena perbuatan-perbuatan manusia, melainkan terjadi karena keadaan-keadaan, dalam ilmu hukum pidana sering disebut dengan “noodtoestand”.
Lamintang menjelaskan bahwa menurut Prof Simons
noodtoestand itu sebagai salah satu
strafuitsluitingsgrond (dasar yang meniadakan hukuman) yang tersendiri, terlepas dari
overmacht. Meskipun demikian Profesor Simons itu juga mengakui, bahwa pembentuk undang-undang itu sebenarnya telah bermaksud untuk memasukkan
noodtoestand ke dalam pengertiannya yang bersifat umum dari
overmacht seperti yang telah diatur di dalam Pasal 48 KUHP dimana
overmacht itu dibagi menjadi:
[1]overmacht dalam arti sempit, yakni keadaan memaksa yang telah ditimbulkan oleh adanya pemaksaan yang telah dilakukan oleh seorang manusia.
Noodtoestand, yakni keadaan memaksa yang telah timbul bukan karena adanya sesuatu perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang manusia.
Jadi, Noodtoestand merupakan jenis overmacht yang bukan terjadi karena perbutan-perbuatan manusia, malainkan terjadi karena keadaan-keadaan.
Sebagai contoh
noodtoestand itu adalah peristiwa dua orang pelaut yang secara bersama-sama berpegangan pada sebuah balok untuk menyelamatkan nyawa mereka, oleh karena kapal yang mereka tumpangi telah tenggelam ke dalam laut, kemudian salah seorang dari mereka secara terpaksa mendorong kawannya hingga yang terakhir ini meninggal dunia tenggelam, yakni dengan maksud untuk menyelamatkan diri sendiri.
[2]
Jadi menjawab pertanyaan Anda, memang benar bahwa secara umum overmacht dan noodtoestand sama-sama merupakan suatu keadaan memaksa. Yang membedakan adalah overmacht merupakan keadaan memaksa yang ditimbulkan oleh adanya pemaksaan yang dilakukan oleh seorang manusia, sedangkan noodtoestand adalah keadaan memaksa yang timbul bukan karena adanya sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang manusia malainkan terjadi karena keadaan-keadaan.
Dasar hukum:
Referensi:
Lamintang. 2013. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
[2] Lamintang, hal. 441-442