Mundurnya Lili Pintauli Siregar dari komisioner KPK menuai sorotan publik. Ketua KPK, Firli Bahuri, mengatakan pengunduran diri itu telah disetujui Presiden Jokowi melalui terbitnya Kepres No.71/P Tahun 2022 tentang pemberhentian Pimpinan KPK Lili Pintauli Siregar terhitung 11 Juli 2022.
Mengacu UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No.30 Tahun 2002 tentang KPK, Firli menyebut dalam hal terjadi kekosongan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Presiden Republik Indonesia mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan.
“KPK berkomitmen terus melaksanakan tugas-tugas pemberantasan korupsi sebagaimana amanah UU dan bersinergi bersama seluruh pemangku kepentingan serta masyarakat melalui upaya pendidikan, pencegahan, dan penindakan,” kata Firli sebagaimana dikutip laman, kpk.go.id, Senin (11/7/2022).
Menurut Firli, penegakan kode etik oleh Dewan Pengawas KPK adalah bagian dari penguatan pemberantasan korupsi oleh KPK. Sehingga KPK dalam melaksanakan tugasnya tidak hanya berpedoman pada ketentuan UU saja, tapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etik.
Baca Juga:
- Mundur dari KPK, Sidang Etik Lili Pintauli Gugur
- Stepanus Robin Ingin Bongkar Peran Komisioner KPK Lili Pintauli
- Berhubungan dengan Pihak Berperkara, Lili Pintauli Disanksi Dewas KPK
Ketua Badan Pengurus PBHI, Julius Ibrani, mengatakan mundurnya Lili sebagai komisioner KPK sebagai momentum membenahi KPK secara kelembagaan sekaligus menegaskan komitmen pemberantasan korupsi ke depan. “PBHI mencatat rezim KPK saat ini memiliki rapor merah dalam hal kinerja dan integritas,” kata Julius Ibrani ketika dikonfirmasi, Selasa (12/7/2022).
Julius menjelaskan beberapa catatan rapor merah KPK seperti turunnya jumlah tuntutan jaksa KPK dan vonis dalam 5 tahun terakhir. Termasuk minimnya sasaran sita aset dan denda serta uang Pengganti. Selain itu, absennya KPK membentengi KPK pada Revisi UU KPK; Kasus TWK; syarat pengetatan Remisi Koruptor dalam revisi PP No.99 Tahun 2012 dan Revisi UU Pemasyarakatan. Bahkan, asset recovery dan penyelamatan potensi kerugian negara masih jauh dari angka 5 persen.