2 Hambatan Penegakan Hukum Tragedi Kanjuruhan
Terbaru

2 Hambatan Penegakan Hukum Tragedi Kanjuruhan

Komisi III DPR layak memberikan perhatian terhadap proses penegakan hukum tragedi Kanjuruhan karena jumlah korbannya tak sedikit. LPSK tidak maksimal dalam mendata korban tragedi Kanjuruhan, tapi mengajukan kembali restitusi.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Peluncuran Laporan Monitoring Sidang Tragedi Kanjuruhan dan Riset Aspek Criminal Justice bagi Saksi dan Korban Penembakan Gas Air Mata, secara daring, Selasa (27/6/2023). Foto: ADY
Peluncuran Laporan Monitoring Sidang Tragedi Kanjuruhan dan Riset Aspek Criminal Justice bagi Saksi dan Korban Penembakan Gas Air Mata, secara daring, Selasa (27/6/2023). Foto: ADY

Peristiwa kelam tragedi Stadion Kanjuruhan yang menyebabkan lebih dari 712 orang luka dan 135 orang  meninggal dunia masih melekat dalam ingatan publik. Sampai saat ini korban dan keluarganya masih menuntut keadilan karena proses pengadilan terhadap 5 terdakwa yang digelar di Pengadilan Negeri Surabaya dinilai belum memenuhi rasa keadilan. Sebab dari 5 terdakwa sebanyak 3 terdakwa divonis ringan dan sisanya bebas.

Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Arsul Sani, mengatakan kurang maksimalnya penegakan hukum kasus Kanjuruhan disebabkan setidaknya 2 hal. Pertama, penegakan keadilan tragedi stadion Kanjuruhan terhalang karena ada paradigma terutama dari kalangan aparat penegak hukum yang menilai peristiwa itu sebagai musibah.

“Dianggapnya musibah, ketika di sana ada sisi pelanggaran hukum pidana maka prosesnya perlu ada tapi karena musibah lalu tidak maksimal. Nah, ini pandangan ada di aparat, dan pemerintah mungkin juga di dpr ada yang begitu. Jadi ini kenapa kemudian keadilan tidak ditegakkan dan diproses sebagaimana seharusnya secara maksimal,” ujarnya dalam peluncuran ‘Laporan Monitoring Sidang Tragedi Kanjuruhan dan Riset Aspek Criminal Justice bagi Saksi dan Korban Penembakan Gas Air Mata’, Selasa (27/06/2023) pekan kemarin.

Baca juga:

Kedua, proses penegakan hukum tragedi Kanjuruhan tidak mendapat sorotan media secara masif. Sebab kala itu, media lebih fokus pada kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J. Arsul mengatakan, pengawasan yang dilakukan Komisi III DPR terhadap mitra kerjanya seperti Polri dan Kementerian Hukum dan HAM belum bisa dilakukan secara detail. Soalnya koalisi masyarakat sipil mengungkap anggaran gas air mata Polri mencapai Rp1,3 triliun dan Kementerian Hukum dan HAM mencapai milyaran.

Dalam rangka mendorong terwujudnya keadilan bagi korban dan keluarganya serta masyarakat Indonesia secara umum, Arsul mengusulkan agar laporan yang diluncurkan koalisi masyarakat sipil tentang ‘Monitoring Sidang Tragedi Kanjuruhan dan Riset Aspek Criminal Justice bagi Saksi dan Korban Penembakan Gas Air Mata’ disampaikan secara resmi kepada Komisi III DPR. Dengan demikian, korban dan keluarganya serta masyarakat sipil dapat menyampaikan masukan kepada Komisi III DPR melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU).

Pria yang juga duduk sebagai anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) itu berpendapat, komisi tempatnya bernaung layak memberikan perhatian terhadap proses penegakan hukum tragedi Kanjuruhan karena jumlah korbannya tak sedikit. Sampai saat ini Komisi III DPR belum pernah menggelar rapat terkait dengan peristiwa Kanjuruhan.

Tags:

Berita Terkait