3 Alasan Amandemen Konstitusi Dinilai Belum Urgen
Utama

3 Alasan Amandemen Konstitusi Dinilai Belum Urgen

Karena belum adanya uji publik, pelibatan partisipasi publik secara masiif, hingga masih dalam kondisi pandemi Covid-19. Amandemen seharusnya muncul dari keinginan dan kebutuhan rakyat, bukan kebutuhan sekelompok elit partai politik.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR, Taufik Basari dalam diskusi daring terkait wacana amandemen konstitusi, Rabu (1/9/2021). Foto: RFQ
Ketua Fraksi Partai Nasdem di MPR, Taufik Basari dalam diskusi daring terkait wacana amandemen konstitusi, Rabu (1/9/2021). Foto: RFQ

Sekelompok elit anggota dewan di parlemen kekeuh agar amandemen kelima UUD Tahun 1945 (konstitusi) dapat segera dilakukan. Meskipun amandemen konstitusi bukan hal tabu, tapi kebutuhan untuk mengubah konstitusi saat ini dinilai belum urgen. Apalagi, amandemen konstitusi belum memenuhi syarat usulan dari sepertiga dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana diatur Pasal 37 UUD Tahun 1945.

“Kita melihat hingga saat ini belum ada urgensi melakukan amandemen UUD 1945 secara terbatas,” ujar Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) di MPR, Taufik Basari dalam diskusi daring bertajuk "Urgensi Amandemen UUD 1945 di Masa Pandemi" yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (1/9/2021).  

Taufik menyampaikan tiga alasan yang melandasi belum adanya urgensi melakukan amandemen konstitusi dalam waktu dekat. Pertama, masih belum mendalamnnya usulan amandemen terbatas tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) serta dampak kepemimpinan di Indonesia. Dia mengakui wacana amandemen kelima konstitusi sudah bergulir sejak MPR/DPR/DPD periode lalu. Meski terdapat kajian dari beberapa akademisi, tapi hasilnya belum dilakukan uji publik untuk mendapat masukan.

“Hingga kini, belum dilakukan tahap uji publik. Itu sebabnya hasil kajian yang belum disampaikan ke publik serta mendengar respon masyarakat menjadi alasan belum urgensinya dilakukan amandemen kelima konstitusi. Jadi, wacana amandemen konstitusi belum matang,” kata Taufik (Baca Juga: Amandemen Konstitusi Perlu Kajian dan Uji Publik Mendalam)

Kedua, belum adanya pelibatan partisipasi publik secara masif. Dia menerangkan UUD Tahun 1945 menjadi hukum dasar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, pelibatan masyarakat Indonesia menjadi salah satu syarat utama yang harus dipenuhi agar usulan amandemen konstitusi memenuhi syarat formil. “Tanpa pelibatan partisipasi publik secara masif, maka ini hanya gagasan elit politik saja,” ujarnya.

Ketiga, Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19 tentu menyulitkan melakukan uji publik dan partisipasi publik secara masif. Dengan tiga alasan ini, amandemen konstitusi belum urgen dilakukan MPR dalam waktu dekat ini. “Jadi tidak bisa ditentukan pimpinan MPR atau beberapa fraksi di MPR. Amandemen itu karena ada kebutuhan masyarakat. Kebutuhan ini menjadi landasan utama. Nah sekarang 2021 kita pastikan dulu benar-benar ada kebutuhan atau tidak,” tegas Anggota Komisi III DPR yang akrab disapa Tobas itu.

Bukan kebutuhan publik

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari mengingatkan perlu dilihat seksama indikator atau alasan pentingnya amandemen konstitusi, apakah konstitusi perlu diubah setiap adanya dinamika politik atau keinginan mengubah konstitusi berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. 

Apakah keinginan mengubah UUD Tahun 1945 berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Indikator ini mudah dibaca bila berasal dari kebutuhan publik. Pertanyaan besarnya, apakah harus diubah setiap ada dinamika politk muncul?”  

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas ini melihat pada Pemilu 2019 tak ada satupun pihak, partai, ataupun calon anggota legislatif yang mengkampanyekan isu perubahan konstitusi. ”Kalau menjawab pertanyaan ini, saya bisa menjawab ini bukan kepentingan/kebutuhan publik, ini kepentingan elit,” tegasnya.

Dia juga menekankan usulan amandemen seharusnya berangkat dari keinginan atau kebutuhan publik/masyarakat, bukan hanya kebutuhan PPHN dari sekelompok elit dengan dalih pondasi keberlanjutan pembangunan. “Yang ada pembanguan dikelola oleh kelompok tertentu. Saya tidak pernah melihat adanya kajian pembangunan berkelanjutan dengan GBHN pada era Orde Lama dan Orde Baru untuk publik,” lanjutnya.

Feri mengingatkan GBHN telah digantikan dengan UU No.25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Baginya, UU 25/2004 jauh lebih penting dan cukup mengatur pembangunan berkelanjutan. Hanya saja, praktiknya saja yang harus diawasi secara konsisten. “Menurut saya tidak ada korelasinya dengan PPHN. Kalau ini (PPHN, red) menjadi isu perubahan mendasar tentu akan mendapat kritik publik,” ujarnya. 

Dia mensinyalir gagasan amandemen terbatas memasukan PPHN bakal berdampak menambah kewenangan MPR. Alhasil semua lembaga negara harus menyesuaikan program kerjanya dengan PPHN. Dengan begitu, MPR bakal menjadi lembaga tertinggi negara yang menjadi mandataris rakyat. Lantas bila presiden, lembaga-lembaga negara melanggar PPHN pun menjadi pertanyaan output-nya. Dia khawatir para politisi bakal mengubah mandataris rakyat berada di tangan MPR.

Kemudian MPR bisa menentukan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih. Ruang demokrasi bakal menjadi lebih elitis dan ekslusif yang tidak menyentuh kebutuhan dan partisipasi publik.  Sebab, pemilihan melalui MPR bakal jauh bisa dikendalikan permainan uang karena skup MPR jauh lebih kecil dan dapat dikendalikan orang yang memiliki modal besar. “Perubahan UUD dengan dalih PPHN potensi menjadi masalah, tidak hanya kewenangan MPR,” katanya.

Hukumonline.com

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari.

Pakar Hukum Tata Negara, Refli Harun pun menyangsikan amandemen konstitusi secara terbatas hanya memasukkan PPHN. Sebab, dalam sistem ketatanegaraan saat ini saling melakukan chek and balances. Dia sepakat ketika memasukan PPHN bakal menjadi persoalan. Antara lain penegakan sanksi ketika PPHN tidak dijalankan secara konsisten dan konsekuen.

“Kalau dulu presiden tidak melaksanakan GBHN akan ada memorandum satu, dua, dan akan ada sidang (istimewa, red). Tapi kalau sekarang dengan impeachment (pemakzulan, red) dan tidak sembarang, seperti subjektivitas masa lalu, tapi melibatkan Mahkamah Konstitusi,” katanya.

Menurutnya, fungsi PPHN masih dapat dijalankan dengan mengoptimalkan UU 25/2004. “Karena itu, PPHN sangat problematik. Dan saya tidak mendukng perubahan hanya memasukan PPHN. Kalau tujuannya memperkuat pondasi ketatanegaraan saya setuju,” katanya

Hukumonline.com

Pakar Hukum Tata Negara, Refli Harun.

Staf Khusus (Stafsus) Wakil Ketua MPR, Atang Irawan mengatakan amandemen konstitusi berimplikasi terhadap perubahan pasal-pasal lain. Atang paham betul narasi yang dibangun dengan amandemen terbatas. Dalam Pasal 37 UUD 1945 juga mengharuskan usulan amandemen dilakukan tertulis serta alasan mengamandemen, termasuk alasan pasal-pasal yang bakal diubah. Namun dalam praktiknya sangat dikhawatirkan bakal meluas perubahannya. Misalnya, terdapat beberapa lembaga negara yang mencoba mencari peluang agar dikuatkan kewenangannya, seperti DPD.

Atang berpandangan bila hanya memasukan aturan MPR menetapkan PPHN, maka pasal tersebut tak dapat dibaca secara berdiri sendiri. Sebab, konstitusi merupakan sistem dan ada keterkaitan satu pasal dengan pasal lain. “Sesungguhnya tidak mungkin mengubah satu pasal, tapi tidak mengubah pasal lain, karena semua punya keterkaitan,” katanya.

Tags:

Berita Terkait