3 Alasan RUU KUHP Dinilai Kurang Sensitif Terhadap Penyandang Disabilitas
Utama

3 Alasan RUU KUHP Dinilai Kurang Sensitif Terhadap Penyandang Disabilitas

Karena masih ada penggunaan istilah tidak tepat; tidak mengenal disabilitas secara komprehensif; memperkuat potensi diskriminasi dan mempertajam stigma. Karena itu, beberapa ketentuan seperti Pasal 38-39, 102 ayat (2), 106, 242 dan Pasal 243 RUU KUHP harus diubah agar selaras dengan UU Penyandang Disabilitas.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Kedua, tidak mengenal disabilitas secara komprehensif. Fajri menyebutkan Pasal 242-243 RUU KUHP menggunakan istilah disabilitas mental dan disabilitas fisik, padahal disabilitas sangat beragam. Mengacu UU No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ada 4 ragam disabilitas yakni fisik, mental, intelektual, dan sensorik. Agar mencakup semua ragam disabilitas itu, Fajri mengusulkan RUU KUHP menggunakan istilah “penyandang disabilitas”.

Ketiga, berbagai ketentuan dalam RUU KUHP terkait penyandang disabilitas memperkuat potensi diskriminasi dan mempertajam stigma. Karena itu, beberapa ketentuan seperti Pasal 38-39, 102 ayat (2), 106, 242 dan Pasal 243 RUU KUHP harus diubah agar selaras dengan UU Penyandang Disabilitas.

Bisa bertanggung jawab

Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat, Yeni Rosa Damayanti, mengatakan persoalan yang kerap dihadapi penyandang disabilitas mental atau psikosisial terkait persamaan di muka hukum. Penyandang disabilitas psikosisial dianggap tidak mampu menggunakan pikirannya, sehingga berbagai aturan hukum mengekslusinya dari hak-hak kesetaraan di muka hukum. Ada juga yang menganggap tidak cakap hukum, sehingga ditaruh di bawah pengampuan tanpa batasan waktu.

Yeni mengingatkan masalah kejiwaan yang dialami penyandang disabilitas psikososial itu sifatnya kambuhan. Pada saat stabil, penyandang disabilitas mental sama saja seperti orang pada umum. Bahkan, tidak jarang ada penyandang disabilitas mental ketika kambuh, tapi dia bisa mengendalikan, sehingga masih bisa membedakan mana yang nyata dan tidak. Oleh karena itu, banyak penyandang disabilitas mental yang menjalankan berbagai profesi, seperti peneliti, pembuat film, PNS, dan pekerja swasta.

Menurut Yeni, penyandang disabilitas terutama disabilitas mental, bisa dilekatkan tanggung jawab pidana yang sama selama mereka tidak dalam keadaan kambuh. Karena sama seperti orang pada umumnya, penyandang disabilitas mental juga bisa saja melakukan tindak pidana. “Yang harus diperhatikan apakah tindakan pidana itu dilakukan ketika penyandang disabilitas mental itu sedang mengalami kambuh yang parah, sehingga tidak bisa membedakan mana yang nyata dan tidak,” ujarnya.

Seperti usulan Fajri, Yeni sepakat dengan usulan untuk menghapus Pasal 38 RUU KUHP. Mental state at the time of the offence seharusnya tidak ditentukan berdasarkan pada adanya disabilitas mental pada saat melakukan tindak pidana, tapi melalui pemeriksaan bagaimana kondisi penyandang disabilitas psikososial itu pada saat melakukan perbuatan tersebut.

Tags:

Berita Terkait