3 Dampak RUU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan
Berita

3 Dampak RUU Cipta Kerja Terhadap Sektor Kelautan dan Perikanan

Salah satunya melemahkan efektivitas penegakan hukum karena pengawasan ketat hanya dilakukan terhadap kegiatan usaha dengan tingkat risiko tinggi.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

Sekjen Kiara, Susan Herawati, mengatakan selama ini nelayan tradisional terancam oleh ekspansi investasi. Misalnya, 41 proyek reklamasi di berbagai wilayah pesisir terdampak terhadap 700 ribu keluarga nelayan. “RUU Cipta Kerja memanjakan investor untuk mengkavling kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Nelayan tradisional dan skala kecil tidak mendapat perlakuan yang sama,” ujarnya.

(Baca juga: Profesor Ini Sarankan Standar Lingkungan Hidup Diperkuat dalam RUU Cipta Kerja).

Selain itu Susan mengkritik perubahan Pasal 35 ayat (3) UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang intinya hanya menyebut sanksi administratif. Padahal saat ini Pasal 35 ayat (3) mengatur rinci tentang sanksi administratif mulai dari peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin. Sanksi ini ditujukan untuk kapal perikanan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah Indonesia tapi tidak memenuhi kewajiban untuk menggunakan nakhoda dan ABK berkewarganegaraan Indonesia. Begitu pula kapal perikanan berbendera asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI tapi tidak memenuhi kewajiban menggunakan ABK berkewarganegaraan Indonesia paling sedikit 70 persen dari jumlah ABK.

Dengan mengubah pasal 35 ayat (3) UU Perikanan tersebut Susan berpendapat pemerintah tidak serius menegakkan hukum dan ham di sektor perikanan. Dia yakin hal ini menambah buruk praktik perbudakan yang dialami pekerja perikanan.

Anggota Komisi IV DPR, Luluk Nur Hamidah, menolak pembahasan RUU Cipta Kerja karena situasinya tidak tepat di tengah pandemi Covid-19 yang belum tuntas. Pembahasan RUU Cipta Kerja yang dilakukan saat ini minim partisipasi publik.

Luluk mencermati sedikitnya 5 hal terkait sektor kelautan dan perikanan dalam RUU Cipta Kerja. Pertama, RUU ini terlalu berlebihan dalam memangkas dan menyederhanakan ketentuan. Kedua, tidak mempertimbangkan aspek keberlanjutan (sustainability). Ketiga, menunjukkan sikap pemerintah yang sangat mendahulukan kepentingan investasi. Keempat, mengabaikan aspek perlindungan daya dukung ekosistem. Kelima, mengabaikan aspek perlindungan masyarakat marjinal seperti nelayan kecil, tradisional, dan masyarakat pesisir.

“Yang perlu dibenahi untuk menarik investasi yakni pemberantasan korupsi. Investor menginginkan kepastian hukum, dan kebijakan yang konsisten,” ujar politisi PKB itu.

Tags:

Berita Terkait