4 Alasan PSHK Tolak Amandemen Konstitusi
Utama

4 Alasan PSHK Tolak Amandemen Konstitusi

PSHK mendesak agar MPR, termasuk DPR dan DPD, tidak memaksa melakukan amandemen UUD Tahun 1945. DPR seharusnya fokus melakukan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran untuk mendukung penanganan penyebaran Covid-19.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit

“Dengan model MPR sebagai penetap GBHN, sistem presidensial Indonesia sesungguhnya bergerak ke arah parlementer, karena Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada rakyat, tapi kepada MPR. Siapa pemegang komando pembangunan menjadi sumir, karena posisi Presiden akhirnya hanya sebagai pelaksana GBHN dan tidak memiliki agenda sendiri,” kata Agil.   

Ketiga, merusak kedaulatan Rakyat. Pasal 37 UUD 1945 mengatur bagaimana mekanisme untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. UUD 1945 bukannya tidak dapat diubah. Namun perubahan UUD 1945 sebagai konstitusi, tidak hanya berdasarkan aspek formil. Ada aspek materiil dan kejelasan ketentuan-ketentuan apa saja yang akan diubah. Bahkan proses diskusi dan pembahasan kepada publik mengenai materi perubahan harus terlaksana dan mengkristal menjadi kesimpulan-kesimpulan untuk dituangkan dalam perubahan UUD 1945, sebelum mulai masuk ke dalam mekanisme formil.

“Apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Substansi perubahan UUD 1945 tidak pernah dipublikasikan secara resmi hanya berdasarkan sosialisasi yang dilakukan MPR. Poin-poin perubahan yang diusulkan MPR dan DPD jelas bukan agenda rakyat karena mekanisme partisipasi untuk melibatkan publik dalam usulan amandemen tidak pernah jelas,” keluhnya.  

Dia menilai amandemen konstitusi seolah hanya praktik yang hanya melibatkan elit, sehingga apa yang menjadi kebutuhan hukum masyarakat yang berhubungan dengan konstitusi tidak pernah terlihat utuh. Wajar apabila timbul pertanyaan gagasan mengembalikan pemilihan Presiden oleh MPR, menghidupkan kembali GBHN, dan masa jabatan Presiden 3 periode bertolak semata dari kehendak elit yang melibatkan kepentingan aktor-aktor partai politik yang agendanya memang soal kekuasaan.

Keempat, tidak mendesak. Legislator saat ini seharusnya fokus pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah menanggulangi pandemi yang saat ini sudah berkepanjangan. Selain itu, Pemerintah dan Legislator juga harus cermat mengalokasikan dan menggunakan anggaran negara. Proses amendemen UUD 1945 sangat memerlukan anggaran, waktu, sumber daya manusia, dan partisipasi publik yang sangat luas. Sementara pandemi membatasi semua hal tersebut. Terlebih, preseden proses pembentukan UU yang lahir saat pandemi memiliki kualitas partisipasi publik yang buruk.

Sebut saja pembentukan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jika dalam proses legislasi saja ruang partisipasi tidak mampu dibuka lebar, apalagi dalam proses perubahan Konstitusi yang merupakan hukum tertinggi. Jadi tidak ada urgensi melakukan amandemen Konstitusi di masa pandemi, bahkan cenderung berbahaya bagi demokrasi Indonesia.  

“Untuk itu, PSHK mendesak agar MPR, termasuk DPR dan DPD, tidak memaksa melakukan amandemen UUD Tahun 1945. DPR seharusnya fokus melakukan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran untuk mendukung penanganan penyebaran Covid-19. DPD seharusnya fokus memastikan konstituennya di daerah mendapat layanan dan kebutuhan dasar di tengah perjuangan melawan penyebaran Covid-19.”  

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam catatan akhir tahun 2019, MPR telah mengidentifikasi ada enam aspirasi yang berkembang terkait agenda perubahan konstitusi. Pertama, amandemen terbatas, perubahan hanya terkait pembentukan pokok-pokok haluan negara atau pola pembangunan dengan model Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) seperti pada zaman orde baru. Kedua, penyempurnaan terhadap UUD Tahun 1945 hasil amandemen sebelumnya (amandemen I-IV periode 1999-2002).

Ketiga, perubahan dan kajian menyeluruh dan mendalam terhadap UUD Tahun 1945 hasil amandemen I hingga amandemen IV. Keempat, kembali ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kelima, kembali ke UUD 1945 yang asli. Artinya, mengubah berbagai aspek hasil amandemen UUD 1945 kembali ke konstitusi yang pertama kali dibuat. Kemudian, dilakukan perbaikan dan disempurnakan melalui adenddum. Keenam, tidak diperlukan adanya amandemen konstitusi kelima. Artinya, tetap pada UUD Tahun 1945 yang saat ini berlaku dan diterapkan.

Terhadap beragam aspirasi yang berkembang di masyarakat itu, MPR, bakal menghimpun dan mengolah serta melakukan kajian mendalam. Dia meminta masyarakat tak terburu-buru “menghakimi” MPR lantaran belum mengambil keputusan terhadap amandemen kelima konstitusi ini.

Tags:

Berita Terkait