4 Alasan PSHK Tolak Amandemen Konstitusi
Utama

4 Alasan PSHK Tolak Amandemen Konstitusi

PSHK mendesak agar MPR, termasuk DPR dan DPD, tidak memaksa melakukan amandemen UUD Tahun 1945. DPR seharusnya fokus melakukan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran untuk mendukung penanganan penyebaran Covid-19.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES
Gedung MPR/DPR/DPD. Foto: RES

Dalam dua tahun terakhir, MPR telah mengagendakan amandemen kelima UUD Tahun 1945. Pada 11 Mei 2021, MPR menegaskan amandemen UUD Tahun 1945 dilakukan terbatas pada: Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) atau semacam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang bakal dijalankan Presiden; kewenangan MPR mengubah dan menetapkan UUD; kewenangan DPR menolak RUU APBN sepanjang tak sesuai dengan PPHN.  

Dalam perkembangannya, bahkan DPD secara resmi membuat tim khusus untuk mengolah gagasan-gagasan amandemen UUD 1945 seiring mencuatnya isu mengenai MPR kembali berperan memilih Presiden; penataan kewenangan DPD, perpanjangan periode masa jabatan Presiden/Wakil Presiden menjadi 3 periode; MPR menyusun GBHN untuk dijalankan oleh Presiden. 

Menanggapi isu amandemen konstitusi ini, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai usulan itu akan berdampak pada kembalinya praktik masa silam (era orde baru, red) yang telah dihapuskan saat UUD 1945 diamandemen pada periode 1999-2002. Praktik masa lalu yang ingin dikembalikan antara lain: Pemilihan presiden oleh MPR; Presiden sebagai mandataris MPR; MPR menetapkan haluan negara; Presiden bertanggung jawab pada MPR atas pelaksanaan haluan negara.

“Inisiatif MPR tersebut merupakan sebuah upaya yang perlu ditolak,” ujar Peneliti PSHK, Agil Oktaryal kepada Hukumonline, Senin (28/6/2021). (Baca Juga: MPR Kembali Wacanakan ‘Haluan Negara’ Masuk dalam Amandemen UUD Tahun 1945)

PSHK beralasan usulan amandemen terbatas UUD 1945 tersebut adalah bentuk korupsi terhadap hasil reformasi sehingga pantas ditolak. Pertama, merusak demokrasi. Mengembalikan pemilihan presiden ke MPR adalah langkah mundur dan menurunkan kualitas demokrasi. Secara historis, Indonesia memiliki sejarah kelam saat Presiden pada masa Orde Lama dan Orde Baru dipilih oleh MPR. Terdapat empat alasan mengapa pemilihan Presiden langsung merupakan langkah terbaik (Isra, 2009) untuk demokrasi.

Misalnya, Pilpres langsung mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil dari rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dengan figur yang dipilih; Meski tidak kedap transaksi politik, pilpres langsung akan meminimalisir terpusatnya kekuasaan pada segelintir orang untuk mengambil kata akhir; Memberi kesempatan pada publik mengekspreiskan pilihannya ke figur tertentu tanpa perantara partai politik; Menciptakan perimbangan dalam penyelenggaraan negara dalam mekanisme check and balances antara Presiden dengan lembaga perwakilan karena sama-sama dipilihl rakyat. 

Kedua, merusak sistem presidensial. Mengembalikan MPR sebagai penyusun GBHN untuk dilaksanakan oleh Presiden akan sangat merusak sistem presidensial. Dalam sistem presidensial tidak ada norma hukum yang dapat memerintahkan Presiden selain ketentuan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Bila MPR kembali sebagai penyusun GBHN maka akan tercipta inkonsistensi. 

“Dengan model MPR sebagai penetap GBHN, sistem presidensial Indonesia sesungguhnya bergerak ke arah parlementer, karena Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada rakyat, tapi kepada MPR. Siapa pemegang komando pembangunan menjadi sumir, karena posisi Presiden akhirnya hanya sebagai pelaksana GBHN dan tidak memiliki agenda sendiri,” kata Agil.   

Ketiga, merusak kedaulatan Rakyat. Pasal 37 UUD 1945 mengatur bagaimana mekanisme untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. UUD 1945 bukannya tidak dapat diubah. Namun perubahan UUD 1945 sebagai konstitusi, tidak hanya berdasarkan aspek formil. Ada aspek materiil dan kejelasan ketentuan-ketentuan apa saja yang akan diubah. Bahkan proses diskusi dan pembahasan kepada publik mengenai materi perubahan harus terlaksana dan mengkristal menjadi kesimpulan-kesimpulan untuk dituangkan dalam perubahan UUD 1945, sebelum mulai masuk ke dalam mekanisme formil.

“Apa yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Substansi perubahan UUD 1945 tidak pernah dipublikasikan secara resmi hanya berdasarkan sosialisasi yang dilakukan MPR. Poin-poin perubahan yang diusulkan MPR dan DPD jelas bukan agenda rakyat karena mekanisme partisipasi untuk melibatkan publik dalam usulan amandemen tidak pernah jelas,” keluhnya.  

Dia menilai amandemen konstitusi seolah hanya praktik yang hanya melibatkan elit, sehingga apa yang menjadi kebutuhan hukum masyarakat yang berhubungan dengan konstitusi tidak pernah terlihat utuh. Wajar apabila timbul pertanyaan gagasan mengembalikan pemilihan Presiden oleh MPR, menghidupkan kembali GBHN, dan masa jabatan Presiden 3 periode bertolak semata dari kehendak elit yang melibatkan kepentingan aktor-aktor partai politik yang agendanya memang soal kekuasaan.

Keempat, tidak mendesak. Legislator saat ini seharusnya fokus pelaksanaan fungsi pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah menanggulangi pandemi yang saat ini sudah berkepanjangan. Selain itu, Pemerintah dan Legislator juga harus cermat mengalokasikan dan menggunakan anggaran negara. Proses amendemen UUD 1945 sangat memerlukan anggaran, waktu, sumber daya manusia, dan partisipasi publik yang sangat luas. Sementara pandemi membatasi semua hal tersebut. Terlebih, preseden proses pembentukan UU yang lahir saat pandemi memiliki kualitas partisipasi publik yang buruk.

Sebut saja pembentukan UU No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara; dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Jika dalam proses legislasi saja ruang partisipasi tidak mampu dibuka lebar, apalagi dalam proses perubahan Konstitusi yang merupakan hukum tertinggi. Jadi tidak ada urgensi melakukan amandemen Konstitusi di masa pandemi, bahkan cenderung berbahaya bagi demokrasi Indonesia.  

“Untuk itu, PSHK mendesak agar MPR, termasuk DPR dan DPD, tidak memaksa melakukan amandemen UUD Tahun 1945. DPR seharusnya fokus melakukan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran untuk mendukung penanganan penyebaran Covid-19. DPD seharusnya fokus memastikan konstituennya di daerah mendapat layanan dan kebutuhan dasar di tengah perjuangan melawan penyebaran Covid-19.”  

Sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam catatan akhir tahun 2019, MPR telah mengidentifikasi ada enam aspirasi yang berkembang terkait agenda perubahan konstitusi. Pertama, amandemen terbatas, perubahan hanya terkait pembentukan pokok-pokok haluan negara atau pola pembangunan dengan model Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) seperti pada zaman orde baru. Kedua, penyempurnaan terhadap UUD Tahun 1945 hasil amandemen sebelumnya (amandemen I-IV periode 1999-2002).

Ketiga, perubahan dan kajian menyeluruh dan mendalam terhadap UUD Tahun 1945 hasil amandemen I hingga amandemen IV. Keempat, kembali ke UUD 1945 yang asli sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kelima, kembali ke UUD 1945 yang asli. Artinya, mengubah berbagai aspek hasil amandemen UUD 1945 kembali ke konstitusi yang pertama kali dibuat. Kemudian, dilakukan perbaikan dan disempurnakan melalui adenddum. Keenam, tidak diperlukan adanya amandemen konstitusi kelima. Artinya, tetap pada UUD Tahun 1945 yang saat ini berlaku dan diterapkan.

Terhadap beragam aspirasi yang berkembang di masyarakat itu, MPR, bakal menghimpun dan mengolah serta melakukan kajian mendalam. Dia meminta masyarakat tak terburu-buru “menghakimi” MPR lantaran belum mengambil keputusan terhadap amandemen kelima konstitusi ini.

Tags:

Berita Terkait