4 Catatan Koalisi Terkait Pertemuan KTT G-20 di Bali
Terbaru

4 Catatan Koalisi Terkait Pertemuan KTT G-20 di Bali

Antara lain proyek strategis nasional dan energi; pembungkaman demokrasi; solusi palsu; dan dampak ekonomi pertemuan G20 terhadap perekonomian rakyat Bali.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
4 Catatan Koalisi Terkait Pertemuan KTT G-20 di Bali
Hukumonline

Pemerintah telah menyiapkan penyelenggaran Konferensi Tingkat Tinggi negara anggota G20 (KTT G20) di Bali pada 15-16 November 2022. Perhelatan internasional itu akan dihadiri oleh kepala dan pejabat negara anggota G20. Berbagai isu global akan dibahas dalam pertemuan itu. Koalisi organisasi masyarakat sipil menilai secara umum pertemuan itu hanya melahirkan solusi palsu. Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mencatat setidaknya ada 4 catatan koalisi terhadap pertemuan KTT G20 di Bali.

Pertama, proyek strategis nasional dan energi. Isnur mengatakan pemerintah telah memaksakan Proyek Strategis Nasional (PSN) di berbagai daerah dengan merampas tanah rakyat. Misalnya, pembangunan PLTU Batubara, waduk, jalan tol, foodestate, geothermal, dan proyek Ibu Kota Negara (IKN). “Selain tidak menjawab kebutuhan rakyat, seluruh proyek tersebut juga menutup kesempatan rakyat untuk mengambil keputusan atas ruang hidupnya sendiri,” kata Isnur saat dikonfirmasi, Senin (14/11/2022).

Proyek energi yang diklaim energi bersih seperti PLTA dan geothermal dibangun di atas tanah rakyat dan menghancurkan ribuan hektar hutan. Dampak lingkungan dari beragam proyek itu sudah dirasakan masyarakat mulai dari sumber air kering, air minum tercemar, lingkungan tercemar, udara kotor, tanah pertanian rusak, ikan-ikan mati, hutan rusak, dan wilayah tangkapan nelayan menyempit.

Kedua, pembungkaman demokrasi. Koalisi mencatat seluruh dokumen proyek seperti Amdal, Izin Lingkungan, Izin Operasi Pertambangan diputuskan secara sepihak dan tertutup tanpa melibatkan masyarakat. Demikian juga regulasi terkait PSN yang dibuat dengan cepat, tertutup, dan absen partisipasi rakyat. Masyarakat tegas menolak berbagai proyek itu melalui berbagai cara antara lain demonstrasi. Alih-alih menanggapi protes yang disampaikan, pemerintah malah melakukan pembungkaman melalui kriminalisasi dan intimidasi oleh aparat, preman, ormas, menutup akses dokumen, dan memperpanjang perizinan bagi perusahaan atau HGU.

“Selain itu, gugatan-gugatan hukum masyarakat kerap kandas di pengadilan karena putusan hakim yang tidak adil,”ujar Isnur.

Produk hukum yang terbit belakangan ini menjadi instrumen yang merampas hak masyarakat misalnya melalui Perpres PSN, UU Minerba, dan UU Cipta Kerja. Bahkan Isnur melihat hukum menjadi alat kontrol dan memuluskan politik adu domba. Peraturan Polisi tentang PAM Swakarsa menempatkan Satkamling termasuk yang berasal dari kearifan lokal sebagai pemberi keterangan atau informasi yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban lingkungan.

Ketiga, solusi palsu G20. Koalisi menilai diplomasi pemerintahan Jokowi bersandar pada indikator ekonomi yang mereduksi kerja diplomat hanya sebagai broker bisnis yang keberhasilannya diukur melalui jumlah investasi asing yang masuk. Pemerintahan Jokowi seolah sebagai “pedagang” di meja diplomasi untuk menarik investasi sebesar-besarnya.

Menurut Isnur hal itu dapat dilihat jelas sampai ke tingkat pemerintahan daerah Bali yang memanfaatkan momentum G20 mempercepat pembangunan megaproyek dengan dalih selaras agenda G20. Dengan harapan megaproyek itu bisa menarik minat investor untuk berbisnis di Indonesia. Pemerintah mengklaim perhelatan G20 berdampak pada pemulihan ekonomi terutama Bali. Tapi klaim itu menyembunyikan berbagai masalah pembangunan megaproyek oleh pemerintah provinsi Bali seperti pembangunan KEK Pariwisata Medis di Sanur; Terminal LNG di Kawasan Hutan Bakau; dan Pusat Kesenian Bali (PKB) di Klungkung.

Keempat, menguji klaim pemerintah soal dampak pertemuan G20 bagi kepentingan ekonomi bali. Pembangunan LNG di kawasan hutan bakau ditolak desa adat karena ancaman proyek tersebut terhadap kerusakan lingkungan dan ekosistem laut Bali. Tapi pelaksanaan proyek itu tetap dipaksakan dengan harapan menarik investor besar. Pembangunan Pusat Kesenian Bali (PKB) di Klungkung, juga menuai protes masyarakat karena menyebabkan maraknya pengerukan ilegal di bukit Klungkung untuk memasok material proyek dan pembangunan dilakukan di wilayah rawan bencana.

Pembangunan KEK Pariwisata Medis di Sanur merupakan upaya pemerintah untuk menarik investasi di sektor arsitektur kesehatan yang juga menjadi agenda prioritas G20.Koalisi juga mencermati selama persiapan perhelatan G20 di Nusa Dua, tak ada peningkatan kesejahteraan buruh pariwisata secara signifikan. Buruh tetap mendapat gaji pokok sesuai standar upah minimum, kecuali pada peningkatan biaya servis yang sudah biasa terjadi di musim tingginya pariwisata.

“Semua hal ini membantah semua klaim yang selalu dipropagandakan oleh pemerintah ketika berbicara tentang G20. Alih-alih memperbaiki penghidupan rakyat Bali, malah berpotensi ada masalah besar yang akan dihadapi oleh masyarakat Bali setelah proyek investasi ini berjalan,” urai Isnur.

Atas dasar tersebut koalisi menyampaikan 3 hal. Pertama, rakyat Indonesia harus saling bahu membahu menjaga sumber-sumber penghidupannya dari proses penghisapan oleh para pelaku industri ekstraktif. Kedua, memastikan transisi energi, dalam pengertian yang luas, juga menjadi proses demokratisasi energi, dan oleh karena itu demokratisasi ekonomi dan politik.

Transisi energi harus diselenggarakan dengan prinsip dan nilai transisi yang adil dan berkelanjutan: akuntabel, transparan, dan partisipatif; menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia; adil secara ekologis; adil secara ekonomi; dan transformatif. Ketiga, menyusun kekuatan bersama untuk membangun tata produksi-distribusi-konsumsi sesuai dengan kultur dan budaya yang selama ini melekat di sendi-sendi kehidupan.

Tags:

Berita Terkait