4 Catatan PBHI Terkait Insiden Kebakaran Lapas Klas I Tangerang
Terbaru

4 Catatan PBHI Terkait Insiden Kebakaran Lapas Klas I Tangerang

Pemerintah harus bertanggung jawab penuh kepada korban, wajib memberikan ganti kerugian dan rehabilitasi fisik korban; Pemerintah dan DPR RI harus segera merevisi UU Pemasyarakatan; dan serius dalam Program Restorative Justice yang dimulai di titik hulu KUHP-KUHAP; dan ancaman kriminalisasi berlebihan yang tidak tepat dalam UU tertentu.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Dia menilai Pemerintah cq KemenkumHAM cq Ditjen Pemasyarakatan, harus bertanggung jawab penuh atas terjadinya kebakaran sesuai Pasal 51 UU No.12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Pemerintah harus bertanggung jawab penuh kepada korban, wajib memberikan ganti kerugian dan rehabilitasi fisik korban.

Ke depan, kata Julius, Pemerintah dan DPR RI harus segera merevisi UU Pemasyarakatan dan serius dalam Program Restorative Justice yang dimulai di titik hulu KUHP-KUHAP, dan ancaman kriminalisasi berlebihan yang tidak tepat dalam UU tertentu. “Dalam jangka pendek Kemenkumham harus segera memperbaiki insfrastuktur yang layak huni dan memenuhi standar HAM. Apabila Menteri Hukum dan HAM tidak mampu membenahi, sepatutnya diganti segera,” tegasnya.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Judicial Research Society (IJRS) Dio Ashar menilai keberadaan RUU Pemasyarakatan memang penting. Tapi yang terpenting, mengevaluasi sejumlah pasal pidana yang tersebar di banyak UU. Sebab, sejumlah pasal tersebut berorientasi pada pidana penjara yang berujung kondisi overcrowding pada banyak lapas yang ada di Indonesia.

Dio Ashar melanjutkan peristiwa terbakarnya Lapas Klas I Tangerang bukanlah peristiwa pertama. Berdasarkan catatan IJRS sepanjang 3 tahun terakhir, terdapat 13 lapas yang mengalami kebakaran dalam kondisi overcrowding. Termasuk angka overcrowding Lapas Klas I Tangerang mencapai 245 persen dengan 2.069 penghuni. “Perlu diingat kondisi lapas yang mengalami overcrowding berdampak pada rendahnya pemenuhan hak Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan tahanan,” kata Dio Ashar dalam keterangannya, Kamis (9/9/2021).

Dengan kondisi itu, tentunya para WBP tak bakal mendapatkan fasilitas yang layak. Seperti tempat tinggal yang layak, ruang sel yang memadai, sanitasi yang bersih, dan perawatan medis yang memadai. WBP dan tahanan yang mengalami ketidakpuasan akan kondisi tersebut tak menjamin ketertiban dan keamanan yang berpotensi menyulut kerusuhan dalam rutan dan lapas.

Menurutnya, terbukti banyaknya peristiwa kerusuhan dalam rutan dan lapas yang berujung pada terbakarnya lapas dan rutan. Dia mencatat terdapat 5 rutan dan lapas yang terbakar karena kerusuhan penghuninya. Antara lain kebakaran di Lapas Manado Klas IIA pada April 2020 yang diakibatkan kerusuhan.

Dia menilai overcrowding rutan, lapas dan pengelolaan lapas berimbas pada penganggaran yang menjadi kendala tersendiri. Dengan kondisi lapas hari ini, pengelolaan gedung dan fasilitas lapas menjadi tanda tanya. Dengan struktur bangunan yang nyaris sama dengan kondisi overcrowding di beberapa lapas lain, kejadian di Lapas Klas I Tangerang rawan bisa terulang kapan saja.

Dia mendorong insiden kebakaran tersebut seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi manajemen lapas dan merevitalisasi infrastruktur bangunan rutan dan lapas dengan sistem proteksi dan keamanan yang kuat sesuai PP No.16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung demi terjaminnya keamanan dan keselamatan baik WBP dan tahanan maupun petugas.

“Yang terpenting segera melakukan evaluasi terhadap berbagai peraturan perundang-udangan terutama terkait pemidanaan yang berkontribusi pada masalah overcrowding rutan dan lapas di Indonesia,” katanya.

Tags:

Berita Terkait