4 Sebab Praktik Outsourcing Menyimpang di Perusahaan BUMN
Berita

4 Sebab Praktik Outsourcing Menyimpang di Perusahaan BUMN

Sebagai perusahaan milik pemerintah, BUMN sebaiknya mampu menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan swasta.

ANT/Mohamad Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Buruh memperjuangkan penghapusan outsourcing. Foto: SGP
Buruh memperjuangkan penghapusan outsourcing. Foto: SGP
Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) mendesak perusahaan-perusahaan BUMN mengangkat pekerja sistem alih daya (outsourcing) yang bekerja di vendor dan afiliasinya menjadi pekerja tetap, termasuk pekerja yang statusnya belum memiliki ketetapan hukum.

"Pelanggaran praktik kerja dengan sistem alih daya di perusahaan BUMN masih banyak terjadi. Sebagai perusahaan milik pemerintah, BUMN sebaiknya mampu menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan swasta," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Elektronik Elektrik (PP SPEE), FSPMI, Judy Winarno, di Jakarta, Senin (3/10).

Selain itu, buruh juga menuntut agar pekerja outsourcing BUMN yang di-PHK dipekerjakan kembali. Sebagai contoh, pekerja outsourcing PLN di area Bekasi, Cianjur, Banten dan Makassar. Terkait hal tersebut, Komisi IX DPR pada 2013 lalu telah membentuk Panitia Kerja Outsourcing BUMN dan mengeluarkan surat rekomendasi kepada pemerintah agar segera menyelesaikan permasalahan outsourcing di BUMN dengan mengangkat pekerja sistem alih daya menjadi pekerja tetap. Namun, kata Judy, hingga saat ini rekomendasi tersebut masih diabaikan oleh perusahaan.

Berdasarkan kajian FSPMI dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), praktik outsourcing yang diduga menyimpang di BUMN disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, akibat adanya Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yang memberi kewenangan kepada asosiasi pengusaha untuk menentukan jenis pekerjaan inti dan penunjang. Batasan tersebut sebelumnya sudah diatur dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Kedua, tidak jelasnya pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa tenaga kerja di BUMN. Praktik outsourcing di BUMN dengan pembagian sub-kontraktor dalam bentuk pemborongan pekerjaan maupun penyedia tenaga kerja saat ini banyak yang menyimpang dan tidak jelas. "Banyak pekerjaan yang sifatnya inti diserahkan kepada perusahaan pemborongan pekerjaan dan dilakukan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja," kata Judy.

FSPMI mendesak agar Menteri Ketenagakerjaan merevisi Permenakertrans Nomor 19 Tahun 2012 dan mencabut Surat Edaran Nomor 04 Tahun 2012 supaya tidak memberi kewenangan asosiasi membuat alur kerja untuk menentukan pekerjaan yang sifatnya inti dan non-inti.

Ketiga, Dewan Direksi di BUMN tidak bersedia melaksanakan rekomendasi Panitia Kerja Outsourcing BUMN untuk mengangkat seluruh pekerja outsourcing sebagai pekerja tetap. Keempat, praktik outsourcing di BUMN juga diindikasikan adanya konflik kepentingan oknum pejabat-pejabat di BUMN.

FSPMI menduga adanya praktik `perusahaan dalam perusahaan yang dilakukan oleh oknum pejabat dengan perusahaan-perusahaan outsourcing yang mendapatkan `tender’melakukan pekerjaan di BUMN tersebut. (Baca Juga: Buruh Demo Soal Upah dan Tax Amnesty, Ini Respons Pemerintah)

"Sebab perusahaan outsourcing tersebut akan mengambil keuntungan dari biaya operasional yang diberikan oleh perusahaan BUMN cukup besar dengan membayar upah murah bagi pekerjanya. Disinyalir, sebagian besar perusahaan vendor tersebut pemilik sahamnya adalah mantan direksi BUMN tersebut," ucap Judy.

Tags:

Berita Terkait