5 Alasan Uji Formil UU Ibu Kota Negara ke MK
Utama

5 Alasan Uji Formil UU Ibu Kota Negara ke MK

Para pemohon meminta MK menyatakan pembentukan UU IKN tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES

Sejumlah warga negara yang tergabung dalam Poros Nasional Kedaulatan Negara (PNKN) mengajukan uji formil UU Ibu Kota Negara (UU IKN) ke Mahkamah Konstitusi pada Rabu, (2/2/2022). Undang-Undang Ibu Kota Negara yang disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa (18/1/2022) ini dinilai cacat formil karena tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan.

Ada puluhan pemohon yang tercatat dalam permohonan diantaranya Abdullah Hehamahua; Marwan Batubara; H. Muhyiddin Junaidi; Letjen TNI Mar (Purn) Suharto; Letjen TNI (Purn) Yayat Sudrajat; Mayjen TNI (Purn) Soenarko; Taufik Bahaudin (Alumni UI); Syamsul Balda; Habib Muhsin Al Attas; Agus Muhammad Maksum (Jatim); H.M. Mursalim R; Irwansyah (Alumni UI); Agung Mozin; Afandi Ismail (HMI MPO); Gigih Guntoro (Indonesia Club); Rizal Fadillah (Jabar); Narliswandi Piliang; Neno Warisman; H Memet Hakim (Jabar); Memet A Hakim (Jabar); Syafril Sofyan (Jabar); H. Memet Hamdan (Jabar); Prof Daniel M. Rosyid (Jatim); Masri Sitanggang (Sumut); Khairul Munadi (Sumut).

Salah satu Tim Kuasa Hukum Para Pemohon, Viktor Santoso Tandiasa mengatakan PNKN sudah mendaftarkan permohonan uji formil UU Ibu Kota Negara ke MK, Rabu (2/2/2022). Para pemohon mengajukan uji formil UU IKN, tapi tak menutup kemungkinan akan mengajukan uji materil UU IKN. “Para pemohon merasa dirugikan atas disahkannya UU IKN karena aspek formilnya belum memenuhi kriteria pembentukan undang-undang,” ujar kata Viktor kepada Hukumonline.

Terdapat lima alasan para pemohon mengajukan uji formil UU yang belum bernomor ini ini. Pertama, Pembentukan UU IKN tidak disusun dengan perencanaan yang berkesinambungan, mulai dokumen perencanaan pembangunan, perencanaan regulasi, perencanaan keuangan Negara, dan pelaksanaan pembangunan. Ia menjelaskan rencana IKN tidak pernah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 sebagaimana diatur UU No.17 Tahun 2007, dan tidak pula tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015–2019.

Dia melihat IKN mendadak muncul baru dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024. “Selain itu, anggaran IKN tidak pernah ditemukan dalam Undang-Undang Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, 2021, dan 2022,” kata dia.

(Baca Juga: Resmi Disahkan, Begini Substansi UU Ibu Kota Negara)

Kedua, UU IKN dalam pembentukannya tidak benar-benar memperhatikan materi muatan. Para pemohon beralasan karena hanya mendelegasikan materi yang berkaitan dengan IKN dalam peraturan pelaksana. Ia menjelaskan dari 44 pasal dalam UU IKN, terdapat 13 perintah pendelegasian kewenangan pengaturan dalam peraturan pelaksana. UU IKN tidak secara detail mengatur mengenai administrasi pemerintahan IKN dan UU IKN masih sangat bersifat makro dalam mengatur hal-hal tentang IKN. Misalnya saja aturan soal jalan.

“Ragam materi yang didelegasikan dalam 13 perintah pendelegasian dalam UU IKN diatas seharusnya menjadi materi muatan yang diatur dalam level undang-undang karena bersifat strategis,” ujarnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait