5 Catatan APINDO Soal Penundaan Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja
Berita

5 Catatan APINDO Soal Penundaan Pembahasan Klaster Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja

APINDO menilai PHK dalam jumlah besar saat ini semestinya memacu semua pihak membahas Omnibus Law termasuk klaster Ketenagakerjaan secara lebih intensif.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan bahwa Pemerintah telah menyampaikan kepada DPR mengenai penundaan pembahasan Klaster Ketenagakerjaan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja.

 

“Dan saya juga mendengar Ketua DPR sudah menyampaikan kepada masyarakat bahwa Klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja ini pembahasannya ditunda,” kata Presiden saat memberikan keterangan pers mengenai Omnibus Law tentang RUU Cipta Kerja, Jumat (24/4) lalu.

 

Menurut Presiden, hal ini sesuai dengan keinginan agar memberikan kesempatan DPR dan Pemerintah untuk lebih mendalami substansi pasal terkait. “Hal ini juga untuk memberikan kesempatan kepada kita untuk mendalami lagi substansi dari pasal-pasal yang terkait dan juga untuk mendapatkan masukan-masukan dari para pemangku kepentingan,” kata Presiden. (Baca: Tiga Alasan, Presiden Seharusnya Tarik RUU Cipta Kerja)

 

Menanggapi hal itu Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memandang bahwa penundaan pembahasan klaster Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja tidak berarti pembatalan klaster Ketenagakerjaan dalam Omnibus Law.

 

Kondisi pandemi Covid-19 yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan pe-rumahan pekerja dalam jumlah yang sangat besar saat ini diperkirakan akan terus meningkat sampai akhir 2020. APINDO menilai semestinya hal ini memacu semua pihak untuk membahas Omnibus Law termasuk klaster Ketenagakerjaan secara lebih intensif mengingat pasca pandemi diperlukan penciptaan lapangan kerja masif untuk menyerap korban PHK maupun tenaga kerja baru.

 

Dalam keterangan pers yang diterima hukumonline, Senin (27/4), APINDO berpandangan tanpa klaster Ketenagakerjaan dalam UU Cipta Kerja akan menyebabkan lima hal:

 

Pertama, Semakin kecil peluang untuk menarik investasi padat karya (produksi masal dengan teknologi rendah: TPT, Sepatu, Elektronik, Mamin, dan lain-lain) yang masih sangat diperlukan Indonesia mengingat kualitas SDM yang ada (57,5% lulusan SD dan SMP, 30% lulusan SMA/SMK, hanya 12,4% lulusan Diploma dan Sarjana) dan tingkat pengangguran terbuka yang masih tinggi yaitu 7 juta orang, belum termasuk setengah pengangguran yang bekerja hanya beberapa jam seminggu.

 

Kedua, UU Cipta Kerja hanya menarik untuk industri Padat Modal yang tidak banyak menyerap tenaga kerja sebagaimana terlihat dari data BKPM, di mana investasi naik namun penciptaan tenaga kerja justru turun dalam beberapa tahun terakhir. Di tahun 2018 setiap Rp1 triliun investasi hanya menyerap 1.277 tenaga kerja, ini jauh menurun dibanding tahun 2013 di mana setiap Rp1 triliun investasi menyerap 4.594 tenaga kerja walaupun total investasi meningkat 2.7 kali dari Rp398.3 triliun tahun 2013 menjadi Rp809.6 triliun pada tahun 2019.

 

“Dengan demikian dapat dilihat bahwa investasi yang masuk mayoritas industri padat modal yang memerlukan pekerja dengan skill yang tinggi, sehingga pencari kerja dengan skills rendah yang masih merupakan mayoritas pencari kerja akan sulit mendapatkan pekerjaan,” tulis rilis APINDO yang ditandatangani oleh Ketua Umum APINDO, Hariyadi Sukamdani, beserta pengurus APINDO lainnya.

 

Ketiga, Kondisi penyerapan tenaga kerja yang terus semakin menyusut mengakibatkan kesejahteraan dan kemampuan keuangan masyarakat semakin melemah. Hal ini dapat dilihat pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) Kementerian Sosial 2019, yaitu penerima subsidi yakni pelanggan listrik 98.6 juta orang (37.2% dari jumlah penduduk 265 juta orang) serta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan 96.8 juta orang (36.5% dari jumlah penduduk).

 

“Bila hal ini dibiarkan terus maka Indonesia tidak akan menikmati bonus demografi namun malah akan menghadapi beban demografi, karena rakyatnya tidak memiliki kesempatan untuk bekerja di sektor formal,” tulis pernyataan APINDO. (Baca: Diusulkan Judul RUU Cipta Kerja Diubah, Begini Alasannya)

 

Keempat, Perusahaan Padat Karya saat ini dan mendatang akan terus disibukkan dengan dispute ketenagakerjaan antara Manajemen yang berhadapan dengan Pekerja dan Pemerintah dalam menegosiasikan upah yang melampaui kemampuannya untuk membayar sehingga usaha berlangsung tidak produktif. Demikian juga halnya dengan biaya pesangon yang tinggi mengakibatkan tingkat kepatuhan rendah yang menyebabkan dispute berkepanjangan yang menguras waktu dan perhatian untuk mengembangkan usaha.  

 

Kelima, UU Cipta Kerja tidak bisa memenuhi kebutuhan jenis jenis pekerjaan di masa depan yang memerlukan fleksibiltas waktu kerja berbasis mingguan, harian bahkan per-jam yang semakin meningkat seiring dengan meningkatnya permanent part-timer, di mana seorang pekerja bekerja di lebih dari satu badan usaha di waktu yang sama sebagaimana terjadi di era industri 4.0.

 

Gelombang PHK Pasca Pandemi

Sementara itu, Usaha Mikro dan Kecil bahkan Usaha Menengah (UMKM) akan terus beroperasi secara informal kerena tidak mampu memenuhi ketentuan formal peraturan perundang-undangan dalam hal pengupahan, jam kerja dan perlindungan/jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, sehingga perlindungan kepada pekerja dalam hal jam kerja, upah dan kemampuan membayar iuran BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan sangat lemah.

 

Hal ini sebagaimana data dari Kementrian Keuangan, demikian juga berdasar studi World Bank Enterprise Survey yang menemukan bahwa 25% pekerja menerima pendapatan di bawah Rp420 ribu rupiah/bulan dan 50% menerima pendapatan di bawah Rp800 ribu rupiah/bulan.

 

“Survei JETRO juga menunjukkan bahwa berbagai persoalan Ketenagakerjaan termasuk soal pengupahan merupakan hambatan bagi investasi di Indonesia,” tulis pernyataan APINDO.

 

Apindo berpendapat, sebagaimana berulangkali disuarakan oleh dunia usaha, pengamat ekonomi bahkan oleh Presiden sendiri bahwa Indonesia jangan sampai kehilangan momentum untuk menarik industri manufaktur ke Indonesia dan semakin tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, Vietnam dan bahkan potensial terkejar oleh negara-negara ASEAN lainnya seperti Kamboja, Myanmar, Laos yang terus cepat mengatasi ketertinggalannya.

 

APINDO memprediksi pasca pandemi Covid-19 Indonesia akan mengakibatkan gelombang PHK yang sangat besar dan kehilangan kesempatan untuk menarik investasi padat karya jika omnibus law kluster Ketenagakerjaan tidak dibenahi secara fundamental.

 

Silent majority Pencari kerja dan UMKM sudah saatnya mendapat prioritas perhatian pemerintah untuk mendapatkan akses pekerjaan. Para pimpinan Serikat Pekerja/Serikat Buruh diharapkan menunjukkan empatinya kepada mereka yang selama ini hanya menjadi penonton tanpa mampu menyuarakan kepentingannya.

 

“Sudah saatnya para pimpinan pemerintahan dan lembaga legislatif siap tidak populer dihadapan kekuatan yang menginginkan status quo saat ini yang akan menjadikan Indonesia terjebak dalam negara berpenghasilan menengah yang tidak bisa naik kelas. Sudah saatnya para pimpinan negara mengutamakan kepentingan rakyat banyak untuk memberikan akses ekonomi yang lebih baik kepada masyarakatnya,” tutup pernyataan APINDO.

 

Nikmati Akses Gratis Koleksi Peraturan Terbaru dan FAQ Terkait Covid-19 di sini.

 

 

Tags:

Berita Terkait