5 Catatan Setara Institute Soal Demokrasi dan Penghormatan HAM dalam RKUHP
Terbaru

5 Catatan Setara Institute Soal Demokrasi dan Penghormatan HAM dalam RKUHP

Mulai belum dibukanya draf terbaru ke publik, hingga adanya contradictio interminis perihal pasal penodaan agama.

Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit

Dia menilai menghidupkan ulang pasal penghinaan terhadap presiden-wakil presiden dan pemerintah dalam RKUHP merupakan bentuk pembangkangan terhadap amanah putusan MK dan konstitusi. Terlebih, norma tersebut amat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, rentan tafsir apakah protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan?

Menurutnya, delik penghinaan tak boleh digunakan untuk menghambat kritik dan protes terhadap kebijakan pemerintah atau pejabat-pejabat pemerintah. Sebab, sejumlah kasus kriminalisasi terhadap aktivis HAM mengkritik pejabat negara belakangan semestinya menjadi refleksi bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kembali pencantuman norma pasal penghinaan.

“Bukan tidak mungkin, rumusan pasal penghinaan khususnya terhadap pemerintah dalam RKUHP akan semakin menjadi alat pemberangusan freedom of expression masyarakat yang mengarah pada shrinking civic space atau pengkerdilan ruang-ruang sipil sekaligus menjadi penanda regresi demokrasi,” ujarnya.

Ketiga, Setara menyesalkan masih adanya pasal soal kohabitasi (kumpul kebo, red) dalam draf RKUHP. Setara mengamini kohabitasi sebagai perbuatan amoral, tapi tidak semua perbuatan yang dianggap tercela dalam konteks agama secara otomatis dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Terlebih, hukum pidana seharusnya diterapkan sebagai ultimum remidium dalam membenahi persoalan sosial manakala institusi sosial tidak lagi berfungsi.

“Pasal ini menjadi bukti bentuk intervensi negara yang terlalu eksesif terhadap ranah privat setiap individu,” lanjutnya.

Keempat, masih diadopsinya pidana mati dalam draf RKUHP juga amat disesalkan. Meskipun pidana mati sebagai ultimum remedium, tapi penerapan hukuman mati menjadi paradoks terhadap upaya pemenuhan hak hidup (right to life) yang menurut konstitusi merupakan HAM yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Alih-alih menghapus, pemerintah malah menambah deretan regulasi soal pidana mati dengan menyisipkan pidana mati dalam draf RKUHP.

Kelima, Setara menyayangkan adanya contradictio interminis perihal pasal penodaan agama. Dia berpendapat Pasal 302 ayat (1) RKUHP telah menunjukkan progresivitas paradigma pembentuk UU yang menitikberatkan pada pidana hasutan dan pidana kebencian berdasarkan sentimen keagamaan dan kepercayaan. Tapi, Pasal 302 ayat (2) RKUHP, pemerintah masih mempertahankan pasal penodaan agama yang secara nyata selama ini malah menjadi akar dari banyaknya intoleransi dan diskriminasi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait