6 Kritik KPA untuk Kebijakan Sertipikat Tanah Elektronik
Utama

6 Kritik KPA untuk Kebijakan Sertipikat Tanah Elektronik

KPA menegaskan hak masyarakat untuk menyimpan sertifikat tanah asli dan hak ini tidak boleh dihapus. Sertipikat tanah elektronik seharusnya sebagai pelengkap dan tujuannya memudahkan database pertanahan di Kementerian ATR/BPN. Penerbitan Permen ATR/BPN No.1 Tahun 2021 ini juga dinilai melanggar regulasi yang lebih tinggi.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit

Menurutnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) seharusnya fokus pada APBN dan kerja ATR/BPN ditujukan untuk pendaftaran seluruh tanah di Indonesia baik tanah kawasan hutan maupun tanah nonkawasan hutan. Dengan begitu, akan terangkum basis data pertanahan yang lengkap sebagai dasar perencanaan pembangunan nasional dan pelaksanaan reforma agraria, khususnya land reform.

“Langkah pensertifikatan atau legalisasi tanah dan digitalisasinya harusnya menjadi langkah terakhir. Setelah mandat UU Pokok Agraria agar negara melakukan pendaftaran tanah secara nasional dan sistematis sejak tingkat desa dijalankan terlebih dahulu. Inilah prioritas yang selalu diabaikan sejak lama,” kata Dewi dalam keterangannya, Kamis (5/2/2021).

Kedua, secara proses, Dewi melihat implementasi digitalisasi ini akan dimulai dari tanah pemerintah dan badan usaha. Sertifikat ditarik, lalu divalidasi, dan disimpan dalam sistem file elektronik. Sertifikat elektronik itu bisa dicetak dimana saja oleh pemilik saat dibutuhkan. Dewi mempertanyakan bagaimana proses validasi itu dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN, pemohon institusi pemerintah, serta badan usaha? Bagaimana posisi masyarakat dalam validasi itu karena faktanya tanah yang sudah bersertifikat ada juga yang bermasalah.

Menurut Dewi, proses ini rentan karena banyak sertifikat badan usaha merupakan wilayah konflik agraria struktural dengan masyarakat sekitar. Seharusnya konflik itu terlebih dulu diselesaikan, dilepaskan dari klaim pemerintah dan badan usaha. “Proses semacam ini berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpangan dan monopoli tanah oleh badan usaha swasta dan negara,” bebernya. 

Ketiga, secara hukum Dewi menyebut rakyat berhak menyimpan sertifikat asli dan hak ini tidak boleh dihapus. Sertipikat elektronik seharusnya sebagai pelengkap dan tujuannya memudahkan database tanah di Kementerian ATR. Dia meminta digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertifikat asli. Penerbitan Permen ATR/BPN No.1 Tahun 2021 ini dinilai melanggar regulasi yang lebih tinggi yakni PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; PP No.40 Tahun 1996 terkait HGU, HGB, dan Hak Pakai serta UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria.

Keempat, terkait keamanan, Dewi berpendapat sistem IT atau digital yang dikelola Kementerian ATR/BPN belum aman dengan tingkat keamanan yang masih meragukan dan tanpa reformasi birokrasi sangat rentan disalahgunakan, bahkan bisa dibajak.

Kelima, dari sisi pengguna, Dewi menyebut sistem digitalisasi hanya akan ramah terhadap masyarakat perkotaan dan kelas menengah keatas yang dapat mengakses teknologi dan infrastruktur yang sudah memadai. Tapi, bagaimana dengan masyarakat miskin di perkotaan, kampung, kelurahan, desa, dan daerah tertinggal akan kesulitan mengakses sistem teknologi yang sedemikian pesat.

“Apalagi ini hanya mengedepankan aspek teknologi tanpa pengakuan hak atas tanah dan reformasi birokrasi terlebih dulu,” kritiknya.  

Keenam, dari sisi orientasi politik agraria, terutama pertanahan. Dewi menyebut prioritas kerja dalam sertifikasi tanah termasuk program digitalisasi ini menunjukkan sistem pertanahan makin diorientasikan untuk kepentingan liberalisasi pasar tanah di Indonesia. Sertifikasi tanah tanpa didahului land reform dan reforma agraria hanya akan melegitimasi monopoli tanah oleh badan usaha skala besar. “Hanya mempermudah transaksi jual beli tanah bagi para pemilik modal,” katanya.

Tags:

Berita Terkait