Kementerian ATR/BPN Sosialisasikan 5 RPP Terkait UU Cipta Kerja
Berita

Kementerian ATR/BPN Sosialisasikan 5 RPP Terkait UU Cipta Kerja

Kelima RPP tersebut berimbas kepada tiga PP.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit
Persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang di Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020. Foto: RES
Persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang di Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober 2020. Foto: RES

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah menyelesaikan lima Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. RPP yang telah disusun tersebut adalah RPP tentang Penyelenggaraan Ruang; RPP tentang Bank Tanah; RPP tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun (Sarusun) dan Pendaftaran Tanah; RPP tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; serta RPP tentang Kawasan dan Penertiban Tanah Terlantar.

Kelima RPP yang merupakan amanat dari UU Ciptaker ini berimbas kepada 3 PP, yakni PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah; PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah; serta PP Nomor 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing. Direktur Jenderal (Dirjen) Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (PHPT), Suyus Windayana mengungkapkan hadirnya PP turunan UU Ciptaker nanti akan mencabut beberapa pasal dari ketiga PP tersebut.

“Setelah serap aspirasi, dicabut 31 pasal (dari 64 pasal) dalam PP Nomor 40 Tahun 1996, lalu untuk PP Nomor 24 Tahun 1997 dicabut 7 pasal dari 66 pasal yang ada dalam PP tersebut dan pada PP Nomor 103 Tahun 2015 dicabut 3 pasal dari 13 pasal yang ada di peraturan tersebut,” ungkap Suyus dalam keterangan resminya, Selasa (12/01). (Baca: Beragam Rekomendasi Perbaikan Arah Reforma Agraria)

Dalam RPP Hak Atas Tanah, Sarusun dan Pendaftaran Tanah utamanya memuat terobosan penguatan pertanahan, yaitu penguatan Hak Pengelolaan; Ruang Atas Tanah dan Ruang Bawah Tanah; Sarusun; serta Penggunaan Dokumen Elektronik Dalam Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah. Dari aspek pendaftaran tanah, Dirjen PHPT mengungkapkan bahwa RPP ini akan mewajibkan masyarakat untuk ikut serta Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap, yang tujuannya menciptakan kepastian hukum hak atas tanah. “Pendaftaran tanah akan mendasarkan pada kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan,” kata Suyus.

RPP ini juga mengunci bahwa alat bukti lama wajib didaftar paling lama lima tahun sesuai target pendaftaran tanah dan setelah lima tahun, tidak dapat digunakan lagi sebagai dasar dalam kegiatan pendaftaran tanah. “Dalam RPP Hak Atas Tanah, Sarusun dan Pendaftaran Tanah juga akan mengatur percepatan jangka waktu pengumuman, yakni untuk program PTSL, pengumuman dapat dilakukan dalam 14 hari dan untuk sporadik 30 hari," lanjutnya.

RPP Hak Atas Tanah, Sarusun dan Pendaftaran Tanah juga mendukung penggunaan dokumen elektronik sebagai tanda bukti hak. Hal ini ditegaskan dalam pasal 147 dan pasal 175 poin ketiga UU Ciptaker, yang pada intinya tanda bukti hak, sertipikat, SK Menteri termasuk juga Akta PPAT dapat dibuat dalam bentuk dokumen elektronik. Hal ini juga telah dilaksanakan Kementerian ATR/BPN melalui 4 layanan pertanahan yaitu Hak Tanggungan Elektronik (HT-EL), Pembuatan SKPT, pengecekan sertipikat tanah, dan Informasi ZNT. “Mengenai penggunaan dokumen elektronik, peraturan menterinya sudah diteken oleh Pak Menteri,” papar Suyus.

Sebelumnya, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, menilai substansi UU Cipta Kerja menabrak konstitusi. UU Cipta Kerja dianggap melanggar Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD Tahun 1945 yang intinya negara wajib menggunakan sumber agraria Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui demokrasi ekonomi. UU Cipta Kerja juga mengabaikan beragam putusan MK yang menguatkan hak konstitusi rakyat, seperti petani, nelayan, MHA, dan produsen pangan skala kecil.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait