60 Tahun UU Pokok Agraria
Kolom

60 Tahun UU Pokok Agraria

Ada 10 argumentasi yang dapat diberikan terkait urgensi pencabutan dan penarikan UUPA dari peredaran lalu lintas hukum di Indonesia.

60 Tahun UU Pokok Agraria
Hukumonline

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (dapat disebut juga Undang-Undang Pokok Agraria atau disingkat UUPA) tahun ini genap berusia 60  tahun (24 September 1960 – 24 September 2020). Di usia yang ke 60 tahun ini, UUPA dihadapkan kepada sejumlah pertanyaan: Seberapa jauh UUPA telah mencapai tujuannya? Apakah UUPA masih tetap valid secara hukum? Apakah UUPA masih dapat mengakomodir dan menjawab tuntutan perkembangan masyarakat? Masih layakkah UUPA dipertahankan? Perlukah UUPA direvisi? Haruskah UUPA dicabut?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah cabut dan tarik UUPA dari  peredaran lalu lintas hukum di Indonesia, mengapa begitu? Sedikitnya ada 10 argumentasi yang dapat diberikan terkait urgensi pencabutan dan penarikan UUPA dari peredaran lalu lintas hukum di Indonesia.

Pertama, dalam rangka melaksanakan: (a) Pasal 6 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang berbunyi “Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini”.

(b) Huruf j angka 2 Lampiran Bidang Politik dan Keamanan, Keputusan MPR RI No.5/MPR/2003 tentang Penugasan Kepada Pimpinan MPR RI untuk Menyampaikan Saran Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2003, yang berbunyi “Majelis menyarankan kepada Presiden untuk bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat membahas undang-undang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang akan berfungsi sebagai undang-undang pokok.”

(c) Pasal 1, Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan, yang berbunyi “Dalam rangka mewujudkan konsepsi, kebijakan dan sistem pertanahan nasional yang utuh dan terpadu, serta pelaksanaan Tap MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Badan Pertanahan Nasional melakukan langkah-langkah percepatan penyusunan Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria dan Rancangan Undang-undang tentang Hak Atas Tanah serta peraturan perundangundangan lainnya di bidang pertanahan.”

Kedua, UUPA telah gagal dalam mencapai tujuannya, yaitu sebagai dasar bagi pembentukan hukum agraria nasional. Fakta hukum membuktikan, bahwa UUPA tidak lagi dipergunakan sebagai dasar bagi pembentukan hukum agraria nasional, UUPA hanya dipergunakan sebagai dasar bagi pembentukan hukum tanah atau pertanahan saja.

Ketiga, UUPA adalah salah satu penyebab kerancuan atau kekacauan norma hukum di Indonesia, sebagai contoh kerancuan yang ditemukan dalam Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015 Tentang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2015 Tentang Badan Pertanahan Nasional (BPN), yakni kerancuan dasar hukum pembentukan kedua Peraturan Presiden tersebut dan kerancuan tugas dan fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Contoh lain juga ditemukan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria, di mana terdapat kerancuan nomenklatur/terminologi dan konsepsi reforma agraria di Indonesia yang diatur oleh Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2018 Tentang Reforma Agraria dan yang diatur oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Keempat, UUPA telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 karena mencantumkan ruang angkasa sebagai bagian dari ruang lingkup UUPA, padahal Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak ada mencantumkan kata ruang angkasa dalam rumusannya. Pengertian dan ruang lingkup agraria dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA yang meliputi bumi, air, ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya melanggar ketentuan Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Kelima, pengertian nomenklatur/terminologi/istilah agraria dan ruang lingkup agraria yang diatur oleh UUPA terlalu luas sehingga menimbulkan kebingungan dan kekacauan. Menurut UUPA pengertian nomenklatur/terminologi/istilah agraria dan ruang lingkup agraria meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (pengertian agraria menurut UUPA sama dengan pengertian sumber daya alam, yang meliputi  kehutanan, pertambangan mineral dan batubara, minyak dan gas bumi, sumber daya air,  perikanan, penataan ruang, lingkungan hidup, dan lain-lain). Pengertian dan ruang lingkup agraria menurut UUPA ini terlalu luas, sebab di dalam berbagai literatur di dunia pengertian dan ruang lingkup agraria hanya meliputi tanah atau tanah pertanian saja.

Keenam, pencantuman ruang angkasa sebagai bagian dari ruang lingkup UUPA juga telah melanggar Konvensi Internasional Ruang Angkasa 1967 (Space Treaty 1967) yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 2002, karena Konvensi Internasional Ruang Angkasa 1967 (Space Treaty 1967) melarang ruang angkasa dijadikan wilayah kedaulatan suatu negara.

Ketujuh, UUPA menyandang stigma politik produk PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dibuktikan dengan konsepsi Sosialisme Indonesia dan konsepsi Landreform yang berasal dari paham Komunisme yang tercantum dan dipakai oleh UUPA sebagai asas dalam hukum agraria nasional Indonesia, dan secara historis tidak dapat dipungkiri pula bahwa lahirnya UUPA adalah salah satu tuntutan PKI yang memiliki pengaruh besar di kalangan pemerintah dan DPR RI pada waktu itu. Konsepsi Sosialisme Indonesia dalam UUPA,  tercantum dalam Pasal 5 UUPA, yang berbunyi “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan Sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Kedelapan, materi UUPA dalam sektor pertanahan telah disempurnakan oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertanahan (sudah di DPR RI tapi pembahasan dan pengesahannya ditunda) sedangkan penyempurnaan materi UUPA di luar sektor pertanahan telah diakomodir oleh undang-undang sektoral lainnya (yaitu UU Kehutanan, UU Pertambangan Mineral Dan Batubara, UU Minyak Dan Gas Bumi, UU Sumber Daya Air, UU Perikanan, UU Penataan Ruang, UU Lingkungan Hidup, dan lain-lain). RUU Pertanahan (jika disetujui DPR RI menjadi undang-undang) akan menambah dan melengkapi barisan undang-undang sektoral di bidang agraria/sumber daya alam yang sudah ada saat ini, antara lain yaitu UU Kehutanan, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Sumber Daya Air, UU Perikanan, UU Penataan Ruang, UU Lingkungan Hidup, dan lain-lain, oleh karena itu kehadiran RUU Pertanahan akan menggantikan posisi UUPA sebagai undang-undang yang mengatur khusus sektor pertanahan.

Kesembilan, UUPA adalah biang kerok pertikaian (disharmoni) antara UUPA dengan sejumlah undang-undang sektoral di bidang pengelolaan sumber daya agraria /sumber daya alam (UU Sektoral PSDA) antara lain yaitu UU Kehutanan, UU Pertambangan Mineral dan Batubara, UU Minyak dan Gas Bumi, UU Sumber Daya Air, UU Perikanan, UU Penataan Ruang, UU Lingkungan Hidup, dan lain-lain. Pertikaian antara UUPA dengan UU Sektoral PSDA  berlangsung karena UUPA dan UU Sektoral PSDA tidak memiliki prinsip yang sama. Perbedaan prinsip terjadi karena UUPA dalam kedudukannya sebagai induk bagi UU Sektoral PSDA tidak dijadikan sebagai dasar dalam pembentukan/penyusunan UU Sektoral PSDA (padahal UUPA mengklaim bahwa dirinya adalah dasar bagi penyusunan atau pembentukan UU Sektoral PSDA di Indonesia) karena  faktor politis yakni bahwa UUPA dituding adalah produk politik hukum Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terlarang di Indonesia, sehingga dalam pelaksanaannya dianggap tabu dan dianggap tidak satu sistem dengan undang-undang sektoral pengelolaan sumber daya alam di Indonesia dan karena faktor yuridis yaitu peraturan perundang-undangan di Indonesia saat ini sudah tidak mengenal lagi nomenklatur/terminologi/istilah Undang-Undang Pokok atau Undang-Undang Induk.

Kesepuluh, prinsip-prinsip yang terkandung di dalam UUPA sudah tidak berlaku lagi karena sudah digantikan oleh prinsip-prinsip yang diatur oleh Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yaitu: (1) Prinsip memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (2) Prinsip menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. (3) Prinsip menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum. (4) Prinsip mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. (5) Prinsip mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat. (6) Prinsip mewujudkan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam.

(7) Prinsip memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan. (8) Prinsip melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. (9) Prinsip meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar sektor pembangunan dan antar daerah dalam pelaksanaan pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. (10) Prinsip mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria/sumber daya alam. (11) Prinsip mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu. (12) Prinsip melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Mempertahankan UUPA sesungguhnya adalah tindakan irasional dan inkonstitusional.

*)Dr. Henry Sinaga, S.H., Sp.N., M.Kn. adalah Notaris/PPAT dan Dosen Magister Kenotariatan FH USU Medan.

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. Artikel ini merupakan kerja sama Hukumonline dengan Universitas Sumatera Utara dalam program Hukumonline University Solution.

Tags:

Berita Terkait