7 Peraturan yang Dinilai Tak Selaras Amanat Reformasi
Berita

7 Peraturan yang Dinilai Tak Selaras Amanat Reformasi

Ketentuan HAM dalam konstitusi seharusnya menjadi acuan.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Vonis Mati Banyak Dijatuhkan Hakim Pengadilan Negeri)

 

Keenam, SKB Tiga Menteri (Jaksa Agung, Menteri Agama, dan Menteri Dalam Negeri) yang diterbitkan tahun 2008 tentang pelarangan Ahmadiyah di Indonesia. Husein menyebut pada intinya peraturan itu sangat mendiskriminasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia.

 

Ketujuh, Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif, misalnya pelaksanaan Qanun Jinayat di Aceh yang menerapkan hukuman cambuk.

 

Peneliti Senior Imparsial, Bhatara Ibnu Reza, menjelaskan ada 6 tuntutan reformasi. Pertama, penegakan supremasi hukum. Sayangnya di era reformasi malah muncul sejumlah peraturan yang bertentangan dengan HAM dan amanat reformasi. Kedua, mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya. Sampai Soeharto meninggal amanat reformasi itu tidak tercapai. Belum ada akuntabilitas yang dilakukan terhadap Soeharto dan kroninya, malah sekarang keluarga dan kroni Soeharto bisa membentuk partai politik dan masuk kekuasaan.

 

Ketiga, pemberantasan KKN. Amanat reformasi ini relatif sukses karena berhasil mendorong terbentuknya KPK. Sayangnya semangat anti KKN tidak muncul di kalangan elit politik dan pejabat pemerintah, malah mereka yang sering terjerat kasus korupsi. Keempat, amandemen UUD RI 1945. Bhatara mengingatkan amandemen itu dilakukan parlemen sejak 1999 sampai tahun 2002. Dalam amandemen itu ketentuan tentang HAM dimasukkan dalam konstitusi.

 

Sayangnya, ketentuan HAM sebagaimana tertuang dalam konstitusi itu tidak menjadi acuan pembaruan hukum nasional. Bhatara melihat masih ada peraturan yang bertentangan dengan HAM seperti pelaksanaan hukuman mati dan UU MD3. Kelima, pencabutan dwi fungsi ABRI (TNI). Pada awal  reformasi, TNI terlihat melakukan reformasi internal, tapi mandek sejak 10 tahun terakhir. Misalnya, proses revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mangkrak di tahun 2005 dan restrukturisasi Komando Teritorial (Koter) belum berjalan.

 

Keenam, Otonomi Daerah. Bhatara menyebut tujuan desentralisasi itu agar pemerintah daerah bisa mandiri dan menggali potensi daerahnya secara optimal untuk kemakmuran rakyat. Tapi praktiknya sekarang otonomi daerah lebih dipandang sebagai perebutan kekuasaan. “Muncul raja-raja kecil, sehingga memicu maraknya korupsi di daerah,” paparnya.

 

Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf, mengingatkan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang sampai sekarang belum tuntas. Dalam Nawacita pemerintah berjanji untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu secara berkeadilan, namun arahnya sampai sekarang belum terlihat.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait