7 Poin Catatan FITRA Terhadap PP Penyertaan Modal BUMN
Berita

7 Poin Catatan FITRA Terhadap PP Penyertaan Modal BUMN

PP 72/2016 dinilai bertentangan dengan UU BUMN, sehingga harus dilakukan judicial review.

FNH
Bacaan 2 Menit
Sekjen FITRA Yenni Sucipto. Foto: seknasfitra.org
Sekjen FITRA Yenni Sucipto. Foto: seknasfitra.org
Tahun 2017 baru berjalan dua pekan, namun berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah mendapatkan hujan kritik. Dua kebijakan yang menjadi sorotan publik saat ini adalah di sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Jika pekan lalu sejumlah pihak sudah meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan PP No 1 Tahun 2017 tentang Perubahan keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) beserta aturan pelaksana, kali ini tuntutan pembatalan ditujukan untuk PP No. 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT).

LSM Forum Indonesia untuk Transpransi (FITRA) adalah salah satu lembaga yang meminta pemerintah untuk membatalkan (PP) No.72 Tahun 2016.Sekjen FITRA Yenny Sucipto mengatakan bahwa setidaknya ada tujuh permasalahan dalam PP 72/2016, sehingga beleid tersebut patut untuk dibatalkan. (Baca Juga: PP 72/2016 Hanya Atur Holding Company, Tidak Bahas Privatisasi)

Pertama, penyertaan modal kepada BUMN yang diatur dalam Pasal 2A ayat (1) PP 72/2016 dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme APBN. Selama ini, suntikan dana penyertaan modal kepada BUMN harus disepakati melalui DPR. Namun PP ini meniadakan hal tersebut.

Yenny menilai, klausul pasal tersebut mengurangi kewenangan DPR sebagai lembaga Negara yang berfungsi sebagai legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan yang tertuang di dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945. (Baca:Menteri BUMN Bantah Penerbitan PP 72/2016 Langkahi Kewenangan DPR).

“Ketentuan PP 72/2016 memperlemah posisi DPR karena PMN yang bersumber dari kekayaan Negara tidak perlu pengawasan DPR, dampaknya bisa saja BUMN dilepas pada pihak swasta sehingga tujuan pembentukan BUMN tersebut tidak tercapai,” kata Yenny, Kamis (19/1).

Kedua, ada upaya memisahkan kekayaan BUMN dari keuangan Negara (APBN), karena menurut UU BUMN disebutkan bahwa kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan Negara yang berasal dari APBN. Ketiga, PP 72/2016 mencoba untuk menghindari proses tranparansi dan akuntabilitas jika tidak masuk skema APBN. Pasalnya, BPK tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap BUMN. (Baca Juga: Ini Poin Penting PP Penyertaan Modal BUMN)

Keempat, PP 72/2016 dianggap melanggar aturan di atasnya yakni UU BUMN karena berdasarkan UU BUMN PMN berasal dari APBN. Kelima, mekanisme PMN dan jual beli saham dilonggarkan sehingga mudah dikuasai pihak lain. Jika merujuk kepada PP 44/2005, PMN diusulkan oleh menteri keuangan kepada Presiden disertai dengan pertimbangan dan kajian bersama menteri BUMN dan menteri yang mempunyai kewenangan mengatur kebijakan terkait BUMN untuk melakukan kegiatan usaha.

“Karena bentuk PP 72/2016 masih perubahan dari PP 44/2005 yang tidak mencabut seluruh ketentuan dalam PP 44/2005,” tambahnya.

Keenam, anak dan cucu perusahaan BUMN diberi kewenangan seperti BUMN tetapi sangat mudah dijual ke sasta dan asing karena ketentuannya sangat longgar dan belum diatur secara detail. Ketujuh, pengawasan DPR dibatasi dalam PP 72/2016. Hal ini, kata Yenny, akan melemahkan pengawasan terhadap BUMN. Selain itu, DPR juga harus meningkatkan kredibilitas kinerja pengawasan.

“Presiden harus batalkan PP 72/2016 dan pengelolaan BUMN dikembaikan kepada koridor konstisusional,” imbuhnya.

Sementara itu Advokat Pro Rakyat, Riesqi Rahamadiansyah sepakat jika PP 72/2016 harus dibatalkan. Selain mengurangi fungsi pengawasan DPR, PP 72/2016 tersebut juga dapat berakibat fatal karena tidak adanya batas pada pasal 9 ayat D PP 72/2016 terkait pengurangan saham kepemilikan Negara.

“Yang menjadi masalahnya adalah bahwa BUMN mana saja yang bisa dilakukan privatisasi, apakah hal tersebut akan menggunakan produk hukum di bawah PP, bisa jadi PErpres dan Permen yang memungkinkan dapat dikeluarkan tanpa kontrol publik yang ketat. Apalagi, dalam UU BUMN terdapat aturan beberapa BUMN yang tidak bisa di privatisasi seperti Persero yang bergerak dengan pertahanan dan keamanan Negara, atau persero tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat seperti sumber daya alam,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait