7 Rekomendasi Komnas Perempuan untuk Kebijakan Hukuman Mati
Terbaru

7 Rekomendasi Komnas Perempuan untuk Kebijakan Hukuman Mati

Salah satunya mendesak pemerintah dan DPR untuk menghapus pidana mati dalam RUU KUHP, RUU Narkotika, dan berbagai produk hukum lainnya.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Memperingati hari internasional menentang hukuman mati setiap 10 Oktober, Komnas Perempuan mengingatkan upaya penghapusan hukuman mati dalam system hukum pidana merupakan bagian tak terpisahkan dari komitmen penghormatan HAM. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan pidana mati merupakan salah satu bentuk penghukuman yang bertentangan dengan hak paling dasar bagi setiap individu yakni hak untuk hidup.

Pidana mati tergolong penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan melanggar HAM. Andy menegaskan hak hidup merupakan conditio sine qua non atau prasyarat bagi pemenuhan hak-hak asasi manusia lainnya. Komnas Perempuan juga berpandangan bahwa hukuman mati merupakan bentuk paling ekstrim dari kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan menjadi bagian dari femisida, atau pembunuhan berbasis gender terhadap perempuan.

“Hal ini karena praktik hukuman mati berinterseksi dengan sejumlah isu lain kekerasan terhadap perempuan, antaranya feminisasi kemiskinan, perdagangan orang, dan peredaran narkoba serta juga beririsan dengan sistem hukum yang tidak berpihak kepada perempuan korban dan pelanggaran hak atas peradilan yang adil,” kata Andy saat dikonfirmasi, Rabu (12/10/2022).

Baca Juga:

Menurut Andy, UUD NKRI Tahun 1945 dan berbagai konvensi internasional yang diratifikasi tegas menjamin hak untuk hidup. Penghapusan hukuman mati sejalan pelaksanaan konvensi Menentang Penyiksaan, Penghukuman dan Perlakuan yang Kejam atau Tidak Manusiawi Lainnya yang diratifikasi dalam UU No.5 Tahun 1998. Tercatat ada 11 perempuan dari 400 terpidana mati di Indonesia. Di luar negeri ada 30 perempuan Indonesia terancam hukuman mati di beberapa negara, seperti Malaysia (23 orang), Arab Saudi (2 orang), Emirat Arab (3 orang), dan Singapura, serta Laos masing-masing 1 orang.

Andy menekankan pidana mati berpotensi menyasar perempuan dari kelompok rentan karena status sosial ekonominya atau menjadi korban kekerasan berlapis. Hal itu dipermudah dimana UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan UU Narkotika belum mengenali eksploitasi baru untuk tujuan penyelundupan narkotika.

Akibatnya, sejumlah perempuan yang sebetulnya adalah korban perdagangan orang dan eksploitasi harus berhadapan dengan hukuman mati ketika mereka dimanfaatkan untuk perdagangan narkotika. Misalnya dalam perkara kondisi ini tampak dalam Kasus Merri Utami (MU) dan Mary Jane Veloso (MJV).

Tags:

Berita Terkait