ABK Persoalkan Dualisme Pengurusan TKI
Berita

ABK Persoalkan Dualisme Pengurusan TKI

Majelis meminta pemohon mencari aturan wewenang pengurusan TKI dalam undang-undangnya.

ASH
Bacaan 2 Menit
Gedung MK. Foto: RES
Gedung MK. Foto: RES
Merasa belum terlindungi, 29 Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sektor perikanan mempersoalkan Pasal 26 ayat 2 huruf f dan Pasal 28 UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) melalui uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mempersoalkan dualisme pengurusan TKI di sektor perikanan, khususnya yang terkait kewajiban mengantongi Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN).

Tercatat sebagai pemohon yang mengklaim sebagai pelaut atau Anak Buah Kapal (ABK) ini diantaranya, Imam Safi'i, Bambang Suherman, Ade Irawan, Agus Supriyanto, Mustain, Hamdani, Sunardo, Ali Surahman, Her Ibnu Majah, Solekhan, Nur Aemin, Ahmad Surur, Dana, Nurjana, Umar.

Dalam sidang perdana, kuasa hukum para pemohon, Iskandar Zulkarnaen, mengungkapkan para pemohon kehilangan hak dan jaminan perlindungan hukum TKI di luar terkait penerbitan KTKLN. Sebab, terdapat perbedaan persyaratan dalam penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri oleh sejumlah instansi seperti Kemenakertrans, Kemenhub, dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI).

Misalnya, Permenhub No. PM. 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal. Aturan ini memuat syarat-syarat kerja yang juga telah diatur dalam Pasal 54 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Kepala BNP2TKI No. Per.12/KA/IV/2013 tanggal 10 April 2013 tentang Tata Cara Perekrutan, Penempatan dan Perlindungan Pelaut di Kapal Berbendera Asing.

“Terjadi juga dalam hal permohonan izin oleh Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang akan mempekerjakan ABK, tetapi kedua lembaga tersebut merasa berwenang menerbitkan izin yang dimohonkan,” papar Iskandar dalam persidangan yang diketuai Maria Farida Indrati di Gedung MK, Kamis (22/1).

Pasal 26 ayat (2) huruf f UU PPTKI menyebutkan “Penempatan TKI di luar negeri untuk kepentingan perusahaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan : (f) TKI yang ditempatkan wajib memiliki KTKLN.” Pasal 28 menyebutkan penempatan TKI pada pekerjaan dan jabatan tertentu diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Dia menegaskan adanya dualism pengurusan itu menimbulkan perselisihan antara ABK dan PPTKIS terkait minimnya jaminan perlindungan TKI. Hal ini disebabkan adanya saling lempar tanggung jawab antara Kemenakertans, BNP2TKI, dan Kemenhub. Sebab, Pasal 28 UU PPTKI tidak mengatur kementerian mana yang berwenang dan bertanggung jawab memberi perlindungan terutama akibat hubungan kerja para pemohon dengan PPTKIS.

Para pemohon meminta MK meminta agar Pasal 28 UU PPTKI beserta penjelasannya dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai kata “Menteri” adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. “Menyatakan Pasal 26 ayat 2 huruf f UU PPTKI beserta penjelasannnya bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, ‘TKI yang ditempatkan tidak wajib memiliki KTKLN’,“ pintanya.

Menanggapi permohonan, Maria mempertanyakan permintaan para pemohon karena pertentangan norma yang diuji dengan UUD 1945 tidak terlihat dalam permohonan. Pemohon lebih banyaj menguraikan pertentangan peraturan teknis. “MK tidak menguji peraturan di bawah undang-undang,” kritik Maria. “Tolong alasan permohonannya lebih diperjelas dan dicermati kembali!”

Anggota Panel Muhammad Alim juga menilai permohonan lebih banyak menguraikan pertentangan peraturan menteri dengan undang-undang yang diuji. “Jadi, seharusnya pemohon mencari undang-undang terkait kewenangan mengurus ABK, bukan peraturan menterinya. Peraturan menteri ini biasanya mengacu ke undang-undangnya dimana dia punya wewenang itu, itu harus dicari dulu,” saran dia.
Tags:

Berita Terkait