Ada Kemungkinan KPK Periksa Azis Syamsuddin, Ingat Putusan MK Ini!
Berita

Ada Kemungkinan KPK Periksa Azis Syamsuddin, Ingat Putusan MK Ini!

Bila KPK ingin meminta keterangan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali kondisi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit
Tim Penyidik KPK saat menggeledah Rumah Dinas Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin di Jalan Denpasar, Jakarta, Rabu (28/4/2021) malam. Foto: RES
Tim Penyidik KPK saat menggeledah Rumah Dinas Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin di Jalan Denpasar, Jakarta, Rabu (28/4/2021) malam. Foto: RES

Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja dan rumah dinas Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin, Rabu (28/4/2021) malam. "Kami sampaikan bahwa KPK akan terus bekerja dan kerja untuk mencari keterangan dan bukti-bukti. Hari ini, tim penyidik KPK menggeledah berbagai lokasi ruang kerja di DPR, rumah dinas, dan rumah pribadi," kata Ketua KPK, Firli Bahuri, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (28/4/2021) seperti dikutip Antara.

Bahuri mengatakan lembaganya akan bekerja keras mengumpulkan bukti-bukti terkait dugaan suap Pattuju. "KPK akan bekerja keras untuk mencari bukti-bukti dan seseorang dapat menjadi tersangka karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan kecukupan alat bukti. Bukan pendapat, bukan persepsi, dan bukan juga asumsi apalagi halusinasi," ujar dia.

KPK tidak pandang bulu untuk menindak pihak lain yang terlibat dalam kasus itu. "Kami akan dalami dan pelajari, telaah keterangan para saksi dan bukti-bukti lainnya untuk membuat terangnya suatu peristiwa, perbuatan, dan siapa pelakunya. Sekali lagi, semua tindakan untuk menduga seseorang sebagai tersangka beralaskan kecukupan bukti. KPK tidak pandang bulu bertindak karena itu prinsip kerja kami," katanya.

Penggeledahan ini dilakukan dalam penyidikan kasus dugaan suap agar tidak menaikkan perkara ke tingkat penyidikan dengan tersangka penyidik KPK dari Kepolisian Indonesia, Stepanus Robin Pattuju, dan kawan-kawan. Selain Pattuju, KPK juga telah menetapkan dua tersangka lain yaitu Wali Kota Tanjungbalai, M Syahrial dan Maskur Husain selaku pengacara. (Baca Juga: MKD Proses Pelaporan Azis Syamsuddin Terkauit Perkara Suap Penyidik KPK)

Dalam konstruksi perkara pada Oktober 2020, Syahrial pernah menemui Azis Syamsuddin di rumah dinasnya dan menyampaikan permasalahan adanya penyelidikan yang sedang dilakukan KPK di Pemerintah Kota Tanjungbalai. Syamsuddin langsung memperkenalkan Syahrial dengan Pattuju. Dalam pertemuan itu, Syahrial menyampaikan permasalahan terkait penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai agar tidak naik ke tahap penyidikan.

Syahrial meminta Pattuju dapat membantu agar permasalahan penyelidikan tersebut tidak ditindaklanjuti KPK. Pattuju bersama Maskur Husain sepakat membuat komitmen dengan Syahrial terkait penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai untuk tidak ditindaklanjuti KPK dengan menyiapkan uang Rp1,5 miliar.

Syahrial menyetujui permintaan Pattuju dan Husain itu dengan mentransfer uang secara bertahap sebanyak 59 kali melalui rekening bank milik Riefka Amalia, teman Pattuju. Syahrial juga memberikan uang secara tunai kepada Pattuju hingga total uang yang telah diterima Pattuju sebesar Rp1,3 miliar.

Dilansir sejumlah media, sebelumnya Ketua KPK Firli Bahuri mengisyaratkan akan memeriksa Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin untuk kepentingan penyidikan kasus ini. Azis akan diperiksa KPK dalam waktu dekat ini. “Itu kepentingan penyidikan, secepatnya, kalau bisa Senin kami periksa, kami periksa. Kalau bisa Selasa, kami periksa,” kata Firli di Kantornya, Sabtu (24/4/2021) kemarin.    

Lalu, bagaimana proses pemeriksaan anggota DPR termasuk pimpinan DPR yang diduga terlibat kasus hukum?

Dalam Pasal 245 ayat (1) UU No.2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3), disebutkan “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).”

Tapi, Pasal 245 ayat (2) UU 2/2018 menyebutkan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut tidak berlaku terhadap anggota DPR yang:

  1. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
  2. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
  3. disangka melakukan tindak pidana khusus.

Lalu, melalui Putusan MK No. XVI/PUU-XVI/2018 tanggal 28 Juni 2018, MK telah menyatakan frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden” dalam Pasal 245 ayat (1) UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dalam konteks semata-mata pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana.”

Sementara itu, frasa “setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat (1) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga, Pasal 245 ayat (1) UU MD3 selengkapnya berbunyi “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindakan pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden.” (Baca Juga: MK Hapus ‘Panggil Paksa’ dan Pangkas Wewenang MKD)

Dengan begitu, penyidik (KPK) tidak perlu lagi meminta izin MKD, hanya wajib mendapatkan persetujuan tertulis Presiden dalam hal pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana yang tidak berhubungan dengan pelaksanaan tugasnya. Kecuali, kondisi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3.

Seperti diketahui, Wakil Ketua Lembaga Pengawasan dan Pengawalan Penegakan Hukum Indonesia, Kurniawan Adi Nugroho pun sudah melaporkan Azis Syamsuddin ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), Senin (26/4/2021) kemarin. Dalam laporannya, Azis dinilai melanggar kode etik lantaran diduga mmemfasilitasi pertemuan antara penyidik KPK dengan Syahrial. Laporan dugaan pelanggaran etik anggota dewan ini sudah diterima MKD. (ANT)  

Tags:

Berita Terkait